Inilah 4 Ulama Besar Kerajaan Aceh yang Sangat Berpengaruh
Inilah 4 Ulama Besar Kerajaan Aceh yang Sangat Berpengaruh
Sejak dahulu negri Aceh sudah dikenal sebagai negeri islam yang banyak terdapat para wali Allah dan ulamanya. oleh sebab itu wajarlah jika Rasulullah pernah menyebut nama Aceh sebagai negeri para ulama, hingga hari ini yang kita kenal sebagai negeri Serambi Mekkah. (baca artikel : Inilah Bukti Bahwa Rasulullah Pernah Menyebut Nama Aceh). Ada banyak ulama masyhur di Aceh namun disini hanya disebutkan 3 ulama besar saja, karena dari 3 ulama ini para ulama-ulama lain berasal dari mereka. Lalu siapakah ulama tersebut ? berikut penjelasannyanya :
Syeikh Hamzah Fanzuri
Beliau adalah tokoh sufi yang terkenal di Aceh. Hamzah Fansuri di lahir dilahirkan di Fansur Singkil, Aceh. Beliau hidup pada zaman pemerintahan Sulthan Alaiddin Riayatsyah IV (1589 – 1604 M/997 – 1011 H) hingga awal pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Mahkota Alam. Beliau banyak merantau untuk menuntut ilmu hingga ke Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Semenanjung Arab. Beliau ahli dalam ilmu fiqh, tasawuf, falsafah, sastra, mantiq, sejarah dan lain-lain, serta fasih berbahasa Arab, Urdu, Parsi di samping bahasa Melayu dan Jawa.
Para Sarjana tidaklah meragukan keadaan pribadinya, dapat dipastikan bahwa ia dan Syamsuddin Sumatrani merupakan dua tokoh sufi yang sepaham dan hidup lebih dahulu dari dua ulama terkemuka lainnya yang pernah hidup di Aceh, yakni Abdurrauf Singkil Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniry.
Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui. Ia diperkirakan telah menjadi penulis pada masa kesultanan Aceh Sultan Alaiddin Riayatsyah IV. Beliau menyebutkan Sultan Alaiddin selaku sultan yang ke-4 dengan sayyid mukammil sebagai gelarnya. Hal keadaan ini sebagai isyarat yang terlihat dalam syairnya yang berbunyi sebagai berikut:
Hamba mengikat syair ini
Di bawah hadhrat Raja yang wali
Syah Alam raja yang adil, raja kutub sempurna kamil
Wali Allah sempurna wasil, Raja arif lagi mukammil
Tentang dirinya beliau bersyair:
Hamzah ni asalnya fansuri
Mendapat wujud di tanah syahr nawi
Beroleh khilafat ilmu yang ali
Dari pada Abdul Qadir Sayyid Jailani
Syahr Nawi mengisyaratkan beliau lahir di tanah Aceh. Konon saudara Hamzah Fansuri bernama Ali Fansuri yakni ayah dari Abdurrauf Singkil Fansuri.
Ketika pengembaraannya selesai dari Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Makkah dan Madinah, untuk mencari ilmu makrifat terhadap Allah SWT. Ia kembali ke Aceh dan mengajarkan ilmunya. Mula-mula ia berdiam di Barus, lalu di Banda Aceh yang kemudian ia mendirikan Dayah (pesantren) di Oboh Simpang Kanan Singkil dan di Oboh itulah (ada yang mengatakan antara Singkil dengan Rundeng) beliau di makamkan di sebuah kuburan di desa ini dan dipandang oleh masyarakat banyak sebagai kuburan Hamzah Fansuri.
Bersama-sama dengan Syeikh Syamsuddin Sumatrani, Hamzah Fansuri adalah tokoh aliran wujudiyah (seorang alim yang telah sampai kepada makrifat wahdatul wujud). Ia dianggap sebagai guru Syamsuddin Sumatrani, dimana ia kerapkali mengutip ungkapan-ungkapan Hamzah Fansuri. Bersama dengan muridnya ini Hamzah Fansuri dituduh menyebarkan ajaran sesat oleh Nuruddin Ar-Raniry pada ketika Nuruddin Ar-Raniry menjadi mufti kerajaan yang berpengaruh di istana Sultan Iskandar Tsani, pada hal karya Hamzah Fansuri musnah dibakar pada zaman Sultanah Safiatuddin. Kebanyakan dari karangan beliau menulis tentang ilmu tauhid, ilmu suluk, ilmu thariqat, ilmu tasawuf dan ilmu syara’. Beliau adalah anak dari seorang ulama besar terkemuka di Barus, dan Fansuri di negeri Barus terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan yang letaknya di selatan Aceh.
Hal keadaan di atas telah diungkapkan oleh Prof. DR. Syekh Muhammad Naquib Al-Attas, dalam bukunya The Mysticism of Hamzah Fansuri.
Syamsuddin as-Sumatrani
Beliau adalah tokoh ulama besar dan pengarang di Aceh. Nama lengkapnya ialah Syekh Syamsuddin bin Abdillah as Sumatrani; sering juga disebut Syamsuddin Pasee. Dia adalah ulama besar yang hidup di Aceh pada beberapa dasa warsa (sepuluh tahun) terakhir abad ke-16 dan tiga dasa warsa pertama abad ke-17.
Gurunya yang utama ialah Hamzah Fansuri dan pernah belajar dengan Pangeran Sunan Bonang di Jawa. Beliau menguasai bahasa Melayu-Jawa, Parsi dan Arab. Antara cabang ilmu yang dikuasainya ialah ilmu tasawuf, fiqh, sejarah, mantiq, tauhid, dan lain-lain. Pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah IV dan Sultan Iskandar Muda, beliau memegang jabatan yang tinggi dalam Kerajaan Kesultanan Aceh. Beliau dilantik sebagai penasehat kepada kedua sultan tersebut. Beliau juga pernah diangkat menjadi qadi malikul adil yaitu satu jabatan yang terdiri dalam Kerajaan Aceh (orang yang kedua penting dalam kerajaan). Beliau mengetuai Balai Gading (balai khusus yang di anggotai oleh tujuh orang ulama dan delapan orang ulee balang), di samping menjadi Syekh pusat pengajaran Baiturrahman.
Sekalipun mengikut faham aliran tasawuf wahdatul wujud, namun beliau berlaku adil dalam menjalankan hukum-hukum yang difatwakannya. Keahliannya diakui oleh semua pihak termasuk musuhnya Syekh Nuruddin. Beliau meninggal dunia pada tahun 1630 M pada zaman Sultan Iskandar Muda. Banyak karangan-karangan beliau dan fatwa-fatwa beliau diantaranya Syarah Ruba’i Fansuri (uraian terhadap puisi Hamzah Fansuri), dan lain-lain.
Wal hasil beliau adalah seorang ulama besar fiqh dan tasawuf. Dalam hal ini seorang pelaut Belanda bernama Frederick de Houtman (1599M/1008H) yang ditawan di Banda Aceh, dia menyebutkan dalam bukunya tentang Syamsuddin Sumatrani adalah seorang Syekh, penasehat agung raja.
Demikian juga Duta Kerajaan Inggris Sir James Lancaster yang datang ke istana Sultan Aceh (1602 M/1011 H) menyebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani adalah chiefe bishope (imam kepala) yang dihormati raja dan rakyatnya, bijaksana dan berwibawa dan ikut dalam perundingan antara perutusan Inggris dan pihak Aceh. Para peneliti cenderung pada kesimpulan bahwa Syekh yang menjadi penasehat agung raja itu dan imam kepala tersebut tidak lain dari pada Syekh Syamsuddin Sumatrani. Bahkan ada sarjana yang menetapkan bahwa Syekh ini baik pada masa Sultan Alaiddin Riayatsyah IV (1589 – 1604 M/997 – 1011 H) maupun pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636 M/1016 – 1045 H) diangkat menjadi Qadi Al Malikul Adil, orang kedua dalam barisan ulama besar Aceh pada zaman dahulu.
Demikian kebesaran Syamsuddin Sumatrani, mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama, Insya Allah Bapak Gubernur Aceh Irwandi Yusuf memperkenankan undangan Ketua Menteri Melaka untuk meresmikan penanaman batu nisan pada kuburan Syeikh Syamsuddin Sumatrani. Undangan ini sudah lama dan insya allah dalam waktu singkat beliau mempunyai waktu untuk upacara terhormat atas Syamsuddin Sumatrani yang syahid di Melaka. Dan mudah-mudahan beliau dengan rakyat Aceh diberikan berkah oleh Allah dalam memimpin Nanggroe Aceh Darussalam ini.
Syekh Nuruddin ar-Raniry
Nama lengkapnya ialah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniry Al Quraisyi Asy Syafi’ie. Ia wafat pada 22 Zulhijjah 1069 H/21 September 1658 M di negeri kelahirannya di kota pelabuhan Ranir (Rander) Gujarat India, tetapi tidak diketahui tahun kelahirannya. Beliau seorang ulama besar, penulis, ahli fikir, dan Syekh Thariqat Rifa’iyyah di India yang merantau dan menetap di Aceh. Ia lahir sekitar pertengahan ke dua abad ke-16. Pendidikan awalnya dalam masalah keagamaan ia peroleh di tempat kelahirannya sendiri.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Tarim Arab Selatan. Kota ini adalah pusat studi ilmu agama pada masa itu. Setelah menunaikan ibadah haji dan ziarah ke makam Nabi SAW pada 1621 M (1030 H), ia kembali ke India. Setelah kembali ke India dan mengajar di samping sebagai Syekh Thariqat Rifa’iyyah ia merantau ke nusantara dan memilih Aceh sebagai tempat menetap. Ia datang ke Aceh karena itu telah Aceh berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan dan politik serta pusat studi agama Islam di kawasan Asia Tenggara menggantikan Melaka yang telah jatuh kepada penguasaan portugis. Mungkin juga ia mau mengikuti jejak pamannya, Syekh Muhammad Jailani bin Muhammad Hamid Ar-Raniry yang telah tiba di Aceh pada 1588 M berkat kesungguhannya ia berhasil menjadi ulama besar yang berpengatahuan luas dan tercatat sebagai Syekh Thariqat Rifa’iyyah dan bermazhab syafi’ie dalam lapangan fiqh.
Pada tahun 1621 atau 1030 H ia berada di Makkah dan Madinah dalam rangka menunaikan ibadah haji dan setelah kembali ke India. Setelah itu untuk kali yang kedua ia kembali ke Aceh. Pada tahun 1620-an (1030-an H) dan menelaah faham wujudiyah yang sedang berkembang di kalangan murid-murid Syekh Syamsuddin Sumatrani. Hubungan baik Ar-Raniry dengan Sultan Iskandar Tsani di Aceh memberi peluang kepadanya untuk mengembangkan ajaran dan faham mistik yang dibawanya. Peluang itu lebih berkembang lagi terutama setelah ia diangkat sebagai mufti kerajaan Aceh. Ia menentang faham wujudiyah yang sesat yang berkembang di Aceh pada waktu itu. Jadi untuk menyanggah pendapat dan faham wujudiyah yang sesat itu ia sengaja menulis beberapa kitab di samping juga ia menyanggah ajaran wujudiyah yang sesat yang tidak sejalan dengan ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani.
Al Quraisyi pada laqab namanya menunjukkan ia dari kabilah yang besar dan terhormat yaitu Quraisy. Asy Syafi’ie mengungkapkan bahwa ia bermazhab Syafi’ie yang tidak perlu diragukan oleh rakyat Aceh. Ia berthariqat dengan thariqat Rifa’iyyah menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara dia dengan Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan Abdurrauf al Fansuri karena sama-sama penganut thariqat suffiyah dan bermazhab Imam Syafi’ie r.a.
Namun yang sangat ditentangkan olehnya adalah para pengikut wujudiyah yang sesat. Dengan demikian maka tidak ada perbedaan antara dia dengan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani. Mungkin sejarawan yang lain seperti menulis ada pertentangan menurut saya antara ulama-ulama besar itu tidak ada sesat menyesatkan antara mereka dan terjadi perbedaan politik oleh karena ada kaitan dengan kerajaan itu sah-sah saja. Kalaupun ada pertentangan ada pertentangan antara keduanya bukanlah perbedaan dalam masalah syariat, thariqat dan hakikat, akan tetapi tidak lebih untuk kepentingan rakyat dan kerajaan semata karena masa senantiasa berubah. Dan setelah meninggal Sultan Iskandar Tsani maka kedudukannya selaku qadi malikul adil dilanjutkan pada Sultanah Ratu Saifatuddin (1641 – 1675 M) di samping beliau menjadi guru besar ilmu-ilmu pengetahuan Islam di mesjid Raya Baiturrahman.
Syekh Abdurrauf As Singkily
Beliau adalah salah satu dari empat ulama terkemuka yang pernah muncul di Aceh pada abad ke-17. Sedang yang tiga lagi adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan Nuruddin Ar-Raniry. Para ahli sejarah memperkirakan bahwa ia lahir sekitar 1615 M (1035 H) di Singkil yang terletak di ujung paling selatan pantai barat Aceh, sekampung dengan Syekh Hamzah Fansuri dan juga putra dari saudara Syekh Hamzah Fansuri sendiri. Ia tumbuh dan berkembang sebagai calon ulama di Aceh pada masa negeri itu sedang berada dalam puncak kejayaan di bawah pimpinan sultannya yang terbesar, Sultan Iskandar Muda.
Demi untuk lebih memperdalam atau memperluas pengetahuan agamanya, ia berangkat ke negeri Arab sekitar tahun 1643 M (1064 H) pada saat negeri Aceh dipimpin oleh Sultanah Safiatuddin yang berada kekacauan politik dan pertentangan paham keagamaan.
Abdurrauf tidak segera langsung menuju Mekkah, tapi terlebih dahulu bermukim pada banyak tempat yang menjadi pusat-pusat pendidikan agama di sepanjang jalur perjalanan haji. Setelah beliau sampai di Mekkah dan Madinah beliau melengkapi ilmu lahir (ilmu Al-Qur’an, tafsir, hadits, fiqh) yang telah dimilikinya dan dilengkapi pula dengan ilmu, yakni tasawuf dan thariqat. Setelah belajar di Madinah pada Syekh Thariqat Syatthariyah Ahmad Al Qusyasyi (wafat 1661 M/ 1082 H) dan kemudian pada khalifah atau penggantinya IbrahimAlqur’ani, beliau memperoleh ijazah dari pimpinan thariqat tersebut. Ini berarti ia telah beroleh pengakuan dan hak untuk mengajarkan Thariqat Syatthariyah itu pada orang lain atau untuk mendirikan cabang baru pada tempat lain. Banyak guru-guru besar yang ia mendapatkan ijazah ilmu pengetahuan dari padanya selama 19 tahun ia menuntut ilmu pengetahuan itu. Ia pulang ke Aceh sebagai seorang ulama yang luas dalam ilmunya. Menurut perkiraan para ahli sekitar tahun 1662 M (1083 H), boleh jadi peranannya sebagai pengajar thariqat Syatthariah telah dimulainya di Madinah, menjelang pulang ke Aceh, seperti yang disimpulkan oleh Snouck Houghranje dari penelitiannya atas silsilah-silsilah thariqat, yang tidak hanya tersebar di Sumatra tetapi juga di Jawa, yang sudah pasti beliau sesudah berada di Aceh, aktif mengajar dan tercatat sebagai ulama Indonesia yang menjadi mata rantai pertama dalam silsilah thariqat Syatthariah yang mengajar di Sumatra, Jawa atau tempat-tempat lain di Indonesia. Ia mengajar di Kuala atau muara krueng Aceh sampai wafat di sana pada tahun 1693 M (1105 H). Karena mengajar dan berkubur di kuala Aceh ia kemudian dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Syiah Kuala. Selain mengajar ia juga menjalankan tugasnya sebagai mufti kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin (1641 - 1675 M). Banyak karangan beliau baik dalam ilmu tafsir dan kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dan ilmu-ilmu lain.
Seperti halnya Syamsuddin Sumatrani dan Nuruddin Ar-Raniry, Abdurrauf As Singkili, beliau juga menganut faham wahdatul wujud yang benar, yakni bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah, sedangkan alam adalah ciptaannya bukanlah wujud hakiki, tetapi wujud bayangan yakni bayangan dari wujud hakiki. Dengan demikian bahwa tuhan lain dari alam atau alam lain dari tuhan. Kendati begitu antara bayangan alam dengan yang memancarkan bayangan (Tuhan) itu terdapat keserupaan pada alam yang tampak ini. Tuhan menampakkan diri-Nya (tajalli) secara tidak langsung. Pada manusia khususnya sifat-sifat tuhan secara tidak langsung menampakkan diri dengan sempurna dan relatif sempurna pada insan kamil (manusia sempurna). Tujuan thariqat yang diajarkannya tidak lain dari memfanakan (menyinarkan) apa saja selain Allah dari kesadaran batin manusia melalui pengamalan beberapa macam zikir.
0 komentar: