Inilah 4 Ulama Besar Kerajaan Aceh yang Sangat Berpengaruh

Maret 19, 2018 rengo dez 0 Comments

Inilah 4 Ulama Besar Kerajaan Aceh yang Sangat Berpengaruh



Sejak dahulu negri Aceh sudah dikenal sebagai negeri islam yang banyak terdapat para wali Allah dan ulamanya. oleh sebab itu wajarlah jika Rasulullah pernah menyebut nama Aceh sebagai negeri para ulama, hingga hari ini yang kita kenal sebagai negeri Serambi Mekkah. (baca artikel : Inilah Bukti Bahwa Rasulullah Pernah Menyebut Nama Aceh). Ada banyak ulama masyhur di Aceh namun disini hanya disebutkan 3 ulama besar saja, karena dari 3 ulama ini para ulama-ulama lain berasal dari mereka. Lalu siapakah ulama tersebut ? berikut penjelasannyanya : 

Syeikh Hamzah Fanzuri

Beliau adalah tokoh sufi yang terkenal di Aceh. Hamzah Fansuri di lahir dilahirkan di Fansur Singkil, Aceh. Beliau hidup pada zaman pemerintahan Sulthan Alaiddin Riayatsyah IV (1589 – 1604 M/997 – 1011 H) hingga awal pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Mahkota Alam. Beliau banyak merantau untuk menuntut ilmu hingga ke Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Semenanjung Arab. Beliau ahli dalam ilmu fiqh, tasawuf, falsafah, sastra, mantiq, sejarah dan lain-lain, serta fasih berbahasa Arab, Urdu, Parsi di samping bahasa Melayu dan Jawa.

Para Sarjana tidaklah meragukan keadaan pribadinya, dapat dipastikan bahwa ia dan Syamsuddin Sumatrani merupakan dua tokoh sufi yang sepaham dan hidup lebih dahulu dari dua ulama terkemuka lainnya yang pernah hidup di Aceh, yakni Abdurrauf Singkil Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniry.

Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui. Ia diperkirakan telah menjadi penulis pada masa kesultanan Aceh Sultan Alaiddin Riayatsyah IV. Beliau menyebutkan Sultan Alaiddin selaku sultan yang ke-4 dengan sayyid mukammil sebagai gelarnya. Hal keadaan ini sebagai isyarat yang terlihat dalam syairnya yang berbunyi sebagai berikut:

Hamba mengikat syair ini
Di bawah hadhrat Raja yang wali
Syah Alam raja yang adil, raja kutub sempurna kamil
Wali Allah sempurna wasil, Raja arif lagi mukammil

Tentang dirinya beliau bersyair:

Hamzah ni asalnya fansuri
Mendapat wujud di tanah syahr nawi
Beroleh khilafat ilmu yang ali
Dari pada Abdul Qadir Sayyid Jailani

Syahr Nawi mengisyaratkan beliau lahir di tanah Aceh. Konon saudara Hamzah Fansuri bernama Ali Fansuri yakni ayah dari Abdurrauf Singkil Fansuri.

Ketika pengembaraannya selesai dari Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Makkah dan Madinah, untuk mencari ilmu makrifat terhadap Allah SWT. Ia kembali ke Aceh dan mengajarkan ilmunya. Mula-mula ia berdiam di Barus, lalu di Banda Aceh yang kemudian ia mendirikan Dayah (pesantren) di Oboh Simpang Kanan Singkil dan di Oboh itulah (ada yang mengatakan antara Singkil dengan Rundeng) beliau di makamkan di sebuah kuburan di desa ini dan dipandang oleh masyarakat banyak sebagai kuburan Hamzah Fansuri.

Bersama-sama dengan Syeikh Syamsuddin Sumatrani, Hamzah Fansuri adalah tokoh aliran wujudiyah (seorang alim yang telah sampai kepada makrifat wahdatul wujud). Ia dianggap sebagai guru Syamsuddin Sumatrani, dimana ia kerapkali mengutip ungkapan-ungkapan Hamzah Fansuri. Bersama dengan muridnya ini Hamzah Fansuri dituduh menyebarkan ajaran sesat oleh Nuruddin Ar-Raniry pada ketika Nuruddin Ar-Raniry menjadi mufti kerajaan yang berpengaruh di istana Sultan Iskandar Tsani, pada hal karya Hamzah Fansuri musnah dibakar pada zaman Sultanah Safiatuddin. Kebanyakan dari karangan beliau menulis tentang ilmu tauhid, ilmu suluk, ilmu thariqat, ilmu tasawuf dan ilmu syara’. Beliau adalah anak dari seorang ulama besar terkemuka di Barus, dan Fansuri di negeri Barus terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan yang letaknya di selatan Aceh.

Hal keadaan di atas telah diungkapkan oleh Prof. DR. Syekh Muhammad Naquib Al-Attas, dalam bukunya The Mysticism of Hamzah Fansuri.

Syamsuddin as-Sumatrani


Beliau adalah tokoh ulama besar dan pengarang di Aceh. Nama lengkapnya ialah Syekh Syamsuddin bin Abdillah as Sumatrani; sering juga disebut Syamsuddin Pasee. Dia adalah ulama besar yang hidup di Aceh pada beberapa dasa warsa (sepuluh tahun) terakhir abad ke-16 dan tiga dasa warsa pertama abad ke-17.

Gurunya yang utama ialah Hamzah Fansuri dan pernah belajar dengan Pangeran Sunan Bonang di Jawa. Beliau menguasai bahasa Melayu-Jawa, Parsi dan Arab. Antara cabang ilmu yang dikuasainya ialah ilmu tasawuf, fiqh, sejarah, mantiq, tauhid, dan lain-lain. Pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah IV dan Sultan Iskandar Muda, beliau memegang jabatan yang tinggi dalam Kerajaan Kesultanan Aceh. Beliau dilantik sebagai penasehat kepada kedua sultan tersebut. Beliau juga pernah diangkat menjadi qadi malikul adil yaitu satu jabatan yang terdiri dalam Kerajaan Aceh (orang yang kedua penting dalam kerajaan).  Beliau mengetuai Balai Gading (balai khusus yang di anggotai oleh tujuh orang ulama dan delapan orang ulee balang), di samping menjadi Syekh pusat pengajaran Baiturrahman.

Sekalipun mengikut faham aliran tasawuf wahdatul wujud, namun beliau berlaku adil dalam menjalankan hukum-hukum yang difatwakannya. Keahliannya diakui oleh semua pihak termasuk musuhnya Syekh Nuruddin. Beliau meninggal dunia pada tahun 1630 M pada zaman Sultan Iskandar Muda. Banyak karangan-karangan beliau dan fatwa-fatwa beliau diantaranya Syarah Ruba’i Fansuri (uraian terhadap puisi Hamzah Fansuri), dan lain-lain.

Wal hasil beliau adalah seorang ulama besar fiqh dan tasawuf. Dalam hal ini seorang pelaut Belanda bernama Frederick de Houtman (1599M/1008H) yang ditawan di Banda Aceh, dia menyebutkan dalam bukunya tentang Syamsuddin Sumatrani adalah seorang Syekh, penasehat agung raja.

Demikian juga Duta Kerajaan Inggris Sir James Lancaster yang datang ke istana Sultan Aceh (1602 M/1011 H) menyebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani adalah chiefe bishope (imam kepala) yang dihormati raja dan rakyatnya, bijaksana dan berwibawa dan ikut dalam perundingan antara perutusan Inggris dan pihak Aceh. Para peneliti cenderung pada kesimpulan bahwa Syekh yang menjadi penasehat agung raja itu dan imam kepala tersebut tidak lain dari pada Syekh Syamsuddin Sumatrani. Bahkan ada sarjana yang menetapkan bahwa Syekh ini baik pada masa Sultan Alaiddin Riayatsyah IV (1589 – 1604 M/997 – 1011 H) maupun pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636 M/1016 – 1045 H) diangkat menjadi Qadi Al Malikul Adil, orang kedua dalam barisan ulama besar Aceh pada zaman dahulu.

Demikian kebesaran Syamsuddin Sumatrani, mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama, Insya Allah Bapak Gubernur Aceh Irwandi Yusuf memperkenankan undangan Ketua Menteri Melaka untuk meresmikan penanaman batu nisan pada kuburan Syeikh Syamsuddin Sumatrani. Undangan ini sudah lama dan insya allah dalam waktu singkat beliau mempunyai waktu untuk upacara terhormat atas Syamsuddin Sumatrani yang syahid di Melaka. Dan mudah-mudahan beliau dengan rakyat Aceh diberikan berkah oleh Allah dalam memimpin Nanggroe Aceh Darussalam ini.


Syekh Nuruddin ar-Raniry



Nama lengkapnya ialah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniry Al Quraisyi Asy Syafi’ie. Ia wafat pada 22 Zulhijjah 1069 H/21 September 1658 M di negeri kelahirannya di kota pelabuhan Ranir (Rander) Gujarat India, tetapi tidak diketahui tahun kelahirannya. Beliau seorang ulama besar, penulis, ahli fikir, dan Syekh Thariqat Rifa’iyyah di India yang merantau dan menetap di Aceh. Ia lahir sekitar pertengahan ke dua abad ke-16. Pendidikan awalnya dalam masalah keagamaan ia peroleh di tempat kelahirannya sendiri.

Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Tarim Arab Selatan. Kota ini adalah pusat studi ilmu agama pada masa itu. Setelah menunaikan ibadah haji dan ziarah ke makam Nabi SAW pada 1621 M (1030 H), ia kembali ke India. Setelah kembali ke India dan mengajar di samping sebagai Syekh Thariqat Rifa’iyyah ia merantau ke nusantara dan memilih Aceh sebagai tempat menetap. Ia datang ke Aceh karena itu telah Aceh berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan dan politik serta pusat studi agama Islam di kawasan Asia Tenggara menggantikan Melaka yang telah jatuh kepada penguasaan portugis. Mungkin juga ia mau mengikuti jejak pamannya, Syekh Muhammad Jailani bin Muhammad Hamid Ar-Raniry yang telah tiba di Aceh pada 1588 M berkat kesungguhannya ia berhasil menjadi ulama besar yang berpengatahuan luas dan tercatat sebagai Syekh Thariqat Rifa’iyyah dan bermazhab syafi’ie dalam lapangan fiqh.

Pada tahun 1621  atau 1030 H ia berada di Makkah dan Madinah dalam rangka menunaikan ibadah haji dan setelah kembali ke India. Setelah itu untuk kali yang kedua ia kembali ke Aceh. Pada tahun 1620-an (1030-an H) dan menelaah faham wujudiyah yang sedang berkembang di kalangan murid-murid Syekh Syamsuddin Sumatrani. Hubungan baik Ar-Raniry dengan Sultan Iskandar Tsani di Aceh memberi peluang kepadanya untuk mengembangkan ajaran dan faham mistik yang dibawanya. Peluang itu lebih berkembang lagi terutama setelah ia diangkat sebagai mufti kerajaan Aceh. Ia menentang faham wujudiyah yang sesat yang berkembang di Aceh pada waktu itu. Jadi untuk menyanggah pendapat dan faham wujudiyah yang sesat itu ia sengaja menulis beberapa kitab di samping juga ia menyanggah ajaran wujudiyah yang sesat yang tidak sejalan dengan ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani.

Al Quraisyi pada laqab namanya menunjukkan ia dari kabilah yang besar dan terhormat yaitu Quraisy. Asy Syafi’ie mengungkapkan bahwa ia bermazhab Syafi’ie yang tidak perlu diragukan oleh rakyat Aceh. Ia berthariqat dengan thariqat Rifa’iyyah menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara dia dengan Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan Abdurrauf al Fansuri karena sama-sama penganut thariqat suffiyah dan bermazhab Imam Syafi’ie r.a.

Namun yang sangat ditentangkan olehnya adalah para pengikut wujudiyah yang sesat. Dengan demikian maka tidak ada perbedaan antara dia dengan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani. Mungkin sejarawan yang lain seperti menulis ada pertentangan menurut saya antara ulama-ulama besar itu tidak ada sesat menyesatkan antara mereka dan terjadi perbedaan politik oleh karena ada kaitan dengan kerajaan itu  sah-sah saja. Kalaupun ada pertentangan ada pertentangan antara keduanya bukanlah perbedaan dalam masalah syariat, thariqat dan hakikat, akan tetapi tidak lebih untuk kepentingan rakyat dan kerajaan semata karena masa senantiasa berubah. Dan setelah meninggal Sultan Iskandar Tsani maka kedudukannya selaku qadi malikul adil dilanjutkan pada Sultanah Ratu Saifatuddin (1641 – 1675 M) di samping beliau menjadi guru besar ilmu-ilmu pengetahuan Islam di mesjid Raya Baiturrahman.

Syekh Abdurrauf As Singkily


Beliau adalah salah satu dari empat ulama terkemuka yang pernah muncul di Aceh pada abad ke-17. Sedang yang tiga lagi adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan Nuruddin Ar-Raniry. Para ahli sejarah memperkirakan bahwa ia lahir sekitar 1615 M (1035 H) di Singkil yang terletak di ujung paling selatan pantai barat Aceh, sekampung dengan Syekh Hamzah Fansuri dan juga putra dari saudara Syekh Hamzah Fansuri sendiri. Ia tumbuh dan berkembang sebagai calon ulama di Aceh pada masa negeri itu sedang berada dalam puncak kejayaan di bawah pimpinan sultannya yang terbesar, Sultan Iskandar Muda.

Demi untuk lebih memperdalam atau memperluas pengetahuan agamanya, ia berangkat ke negeri Arab sekitar tahun 1643 M (1064 H) pada saat negeri Aceh dipimpin oleh Sultanah Safiatuddin yang berada kekacauan politik dan pertentangan paham keagamaan.

Abdurrauf tidak segera langsung menuju Mekkah, tapi terlebih dahulu bermukim pada banyak tempat yang menjadi pusat-pusat pendidikan agama di sepanjang jalur perjalanan haji. Setelah beliau sampai di Mekkah dan Madinah beliau melengkapi ilmu lahir (ilmu Al-Qur’an, tafsir, hadits, fiqh) yang telah dimilikinya dan dilengkapi pula dengan ilmu, yakni tasawuf dan thariqat. Setelah belajar di Madinah pada Syekh Thariqat Syatthariyah Ahmad Al Qusyasyi (wafat 1661 M/ 1082 H) dan kemudian pada khalifah atau penggantinya IbrahimAlqur’ani, beliau memperoleh ijazah dari pimpinan thariqat tersebut. Ini berarti ia telah beroleh pengakuan dan hak untuk mengajarkan Thariqat Syatthariyah itu pada orang lain atau untuk mendirikan cabang baru pada tempat lain. Banyak guru-guru besar yang ia mendapatkan ijazah ilmu pengetahuan dari padanya selama 19 tahun ia menuntut ilmu pengetahuan itu. Ia pulang ke Aceh sebagai seorang ulama yang luas dalam ilmunya. Menurut perkiraan para ahli sekitar tahun 1662 M (1083 H), boleh jadi peranannya sebagai pengajar thariqat Syatthariah telah dimulainya di Madinah, menjelang pulang ke Aceh, seperti yang disimpulkan oleh Snouck Houghranje dari penelitiannya atas silsilah-silsilah thariqat, yang tidak hanya tersebar di Sumatra tetapi juga di Jawa, yang sudah pasti beliau sesudah berada di Aceh, aktif mengajar dan tercatat sebagai ulama Indonesia yang menjadi mata rantai pertama dalam silsilah thariqat Syatthariah yang mengajar di Sumatra, Jawa atau tempat-tempat lain di Indonesia. Ia mengajar di Kuala atau muara krueng Aceh sampai wafat di sana pada tahun 1693 M (1105 H). Karena mengajar dan berkubur di kuala Aceh ia kemudian dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Syiah Kuala. Selain mengajar ia juga menjalankan tugasnya sebagai mufti kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin (1641 - 1675 M). Banyak karangan beliau baik dalam ilmu tafsir dan kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dan ilmu-ilmu lain.

Seperti halnya Syamsuddin Sumatrani dan Nuruddin Ar-Raniry, Abdurrauf As Singkili, beliau juga menganut faham wahdatul wujud yang benar, yakni bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah, sedangkan alam adalah ciptaannya bukanlah wujud hakiki, tetapi wujud bayangan yakni bayangan dari wujud hakiki. Dengan demikian bahwa tuhan lain dari alam atau alam lain dari tuhan. Kendati begitu antara bayangan alam dengan yang memancarkan bayangan (Tuhan) itu terdapat keserupaan pada alam yang tampak ini. Tuhan menampakkan diri-Nya (tajalli) secara tidak langsung. Pada manusia khususnya sifat-sifat tuhan secara tidak langsung menampakkan diri dengan sempurna dan relatif sempurna pada insan kamil (manusia sempurna). Tujuan thariqat yang diajarkannya tidak lain dari memfanakan (menyinarkan) apa saja selain Allah dari kesadaran batin manusia melalui pengamalan beberapa macam zikir.  

0 komentar:

Biografi Ulama - Guru Ijai Martapura & Perjuangannya (Guru Sekumpul)

Maret 19, 2018 rengo dez 0 Comments

guru%2Bijai
Beliau adalah sufi termasyhur, juga sosok Wali Allah kharismatik Martapura, Kalimantan Selatan, yang menyatukan syari’at, tarekat dan hakikat dalam dirinya.  Beliau lebih dikenal dengan sebutan Guru Ijai atau Guru Sekumpul, dan juga salah seorang ulama yang mempopulerkan Simthad Durar atau Maulid Habsyi di Kalimantan Selatan. Pada zamannya Guru Ijai adalah satu-satunya ulama Kalimantan, atau mungkin di Indonesia, yang mendapat otoritas untuk mengijazahkan Tarekat Samaniyyah yang didirikan oleh MUHAMMAD SAMAN.


Masa kecil dan pendidikan

Zaini Abdul Ghani atau Guru Ijai lahir pada 11 Februari 1942 (27 Muharram 1361 H) di Kampung Tunggul Irang Seberang, Martapura. Beliau masih keturunan dari ulama besar Syekh ARSYAD AL-BANJARI. Di masa kecilnya beliau memiliki keistimewaan yakni tak pernah mengalami “mimpi basah” (ihtilam). Pendidikan pertamanya diberikan oleh kedua orang tuanya, Haji Abdul Ghani dan Hajah Masliah binti Haji Mulya, dan oleh neneknya, Hajah Salbiyah. Bersama neneknya inilah beliau suka sekali membaca al-Qur’an.  Pada usia tujuh tahun beliau masuk madrasah di Kampung Keraton, Martapura. Pada masa kecil ini beliau belajar al-Qur’an pertama kali kepada Guru Hasan. Orang tuanya, yang tergolong orang sederhana, selalu membekalinya sebotol minyak untuk diberikan kepada gurunya ini. Sejak usia 10 tahun Guru Ijai telah dikaruniai kassyaf hissi, yakni mampu melihat dan mendengar apa-apa yang tersembunyi atau hal-hal ghaib. Pada usia 14 tahun beliau dikaruniai futuh (pencerahan spiritual) saat membaca sebuah tafsir al-Qur’an. Pada masa remaja ini pula beliau mengalami perjumpaan spiritual dengan Sayyidina Hasan dan Husain, cucu Rasulullah. Kedua cucu Rasulullah ini masing-masing membawa pakaian dan mengenakannya langsung kepada beliau lengkap dengan sorbannya.

Beliau melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Datu Kalampian Bangil, Jawa Timur, kepada Kyai Sarwani Abdan yang juga berasal dari Martapura. Di sini beliau selain mendapat pendidikan syariat juga mendalami ilmu spiritual. Selanjutnya beliau berguru kepada Syekh Falah di Bogor. Selain kepada kedua ulama ini, beliau juga mendalami syariat dan tarekat kepada Syekh Muhammad Yasin Padang di Mekah, Syekh Hasan Masysyath, Syekh Isma’il Yamani, Syekh Abdul Qadir al-Baar, Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutby, Allamah Ali Junaidi (Berau) ibn Jamaluddin ibn Muhammad Arsyad. Atas petunjuk Syekh Ali Junaidi, beliau kemudian belajar kepada Syekh Fadhil Muhammad (Guru Gadung). Kepada Guru Gadung ini Guru Ijai belajar tentang ajaran Nur Muhammad. Beliau juga mendapat ijazah Maulid Simthud Durar dari sahabat karibnya, Habib Anis ibn Alwi ibn Ali al-Habsyi dari Solo, Jawa Tengah.

Beliau sempat menjadi pengajar di Pesantren Darussalam Martapura selama lima tahun, kemudian membuka pengajian di rumahnya sendiri pada 1970-an, di dampingi oleh seorang kyai terkenal yakni Guru Salman Bujang (Guru Salman Mulya). Pengajian dimulai setiap hari Kamis petang hingga malam Jum’at. Pada 1988 beliau pindah ke Kampung Sekumpul, membuka kompleks perumahan ar-Raudhah atau Dalam Regol. Sejak itu kewibawaan dan kharismanya memancar luas – murid-muridnya dan tamu-tamunya berdatangan dari berbagai daerah, bahkan dari negeri jiran seperti Malaysia, Singapura dan Brunei. Sebagian datang untuk berguru, sebagian mencari barakahnya, dan sebagian ingin berbaiat Tarekat Samaniyyah. Juga beberapa tokoh nasional menyempatkan diri mengunjunginya, seperti Amien Rais, Gus Dur, Megawati, AA Gym dan sebagainya.


Pengaruh kehidupan keluarga


Gemblengan ayah dan bimbingan intensif pamannya semenjak kecil betul-betul tertanam. Semenjak kecil ia sudah menunjukkan sifat mulia; penyabar, ridha, pemurah, dan kasih sayang terhadap siapa saja. Kasih sayang yang ditanamkan dan juga ditunjukkan oleh ayahnya sendiri. Seperti misalnya, suatu ketika hujan turun deras, sedangkan rumah Guru Sekumpul sekeluarga sudah sangat tua dan reot. Sehingga air hujan merembes masuk dari atap-atap rumah.Pada waktu itu, ayahnya menelungkupinya untuk melindungi tubuhnya dari hujan dan rela membiarkan dirinya sendiri tersiram hujan.

Abdul Ghani bin Abdul Manaf, ayah dari Guru Sekumpul juga adalah seorang pemuda yang saleh dan sabar dalam menghadapi segala situasi dan sangat kuat dengan menyembunyikan derita dan cobaan. Tidak pernah mengeluh kepada siapapun. Cerita duka dan kesusahan sekaligus juga merupakan intisari kesabaran, dorongan untuk terus berusaha yang halal, menjaga hak orang lain, jangan mubazir, bahkan sistem memenej usaha dagang dia sampaikan kepada generasi sekarang lewat cerita-cerita itu.

Beberapa cerita yang diriwayatkan adalah sewaktu kecil mereka sekeluarga yang terdiri dari empat orang hanya makan satu nasi bungkus dengan lauk satu biji telur, dibagi empat. Tak pernah satu kalipun di antara mereka yang mengeluh. Pada masa-masa itu juga, ayahnya membuka kedai minuman. Setiap kali ada sisa teh, ayahnya selalu meminta izin kepada pembeli untuk diberikan kepada beliau. Sehingga kemudian sisa-sisa minuman itu dikumpulkan dan diberikan untuk keluarga.

Adapun sistem mengatur usaha dagang, ayah beliau menyampaikan bahwa setiap keuntungan dagang itu mereka bagi menjadi tiga. Sepertiga untuk menghidupi kebutuhan keluarga, sepertiga untuk menambah modal usaha, dan sepertiga untuk disumbangkan. Salah seorang ustadz setempat pernah mengomentari hal ini, “bagaimana tidak berkah hidupnya kalau seperti itu.” Pernah sewaktu kecil beliau bermain-main dengan membuat sendiri mainan dari gadang pisang. Kemudian sang ayah keluar rumah dan melihatnya. Dengan ramah sang ayah menegurnya, “Nak, sayangnya mainanmu itu. Padahal bisa dibuat sayur.” Beliau langsung berhenti dan menyerahkannya kepada sang ayah.
Guru Ijai menikah tiga kali, dan dikarunia dua putra dari istri keduanya, Hajjah Laila, yakni Muhammad Amin Badali al-Banjari dan Ahmad Hafi Badali al-Banjari.

Ajaran dan karamah

Sebagai ulama, beliau dikenal sebagai orang yang amat lembut, kasih sayang, sabar, dermawan dan tekun. Apapun yang terjadi terhadap dirinya, beliau tak pernah mengeluh – bahkan pernah beliau dipukuli oleh orang-orang yang dengki kepadanya namun beliau tidak mengeluh atau mendendam sama sekali. Beliau juga mengajarkan agar orang senantiasa mencintai dan hormat kepada ulama yang baik dan saleh. Hal ini dicontohkan dalam sikapnya: ketika masih kecil beliau selalu menunggu di tempat yang biasa dilewati oleh Syekh Fadhil Zainal Ilmi pada hari-hari tertentu semata-mata hanya untuk bersalaman dan mencium tangan kyai tersebut. Jika ada yang mengkritik atau mencaci-maki ajaran tarekatnya, atau mengejek keadaan dirinya, beliau hanya diam, karena beliau menganggap mereka adalah orang-orang yang belum mengerti dan memahami. Tamu-tamu yang datang selalu dijamu makanan, termasuk pada waktu pengajian. Tidak kurang dari 3000 orang selalu datang ke pengajiannya dan selalu diberi jamuan makan.

Kedermawanannya ini tampak bukan hanya kepada lingkungan sekitar, tetapi juga ke setiap tempat yang disinggahinya. Salah satu pesannya adalah “Jangan bakhil” karena itu adalah sifat tercela. Beliau sering mengutip pesan “pintu surga diharamkan bagi orang bakhil.” Beliau juga mengajarkan apa yang disebutnya kaji-gawi, artinya menuntut ilmu dan diamalkan. Salah satu keunikannya dalam berdakwah adalah perhatiannya kepada kesehatan umat. Pada waktu tertentu beliau mendatangkan dokter spesialis (jantung, ginjal, paru, mata, dan sebagainya) untuk memberikan penyuluhan kesehatan sebelum pengajian dimulai. Beliau juga menulis beberapa kitab, di antaranya adalah Risalah Mubarakah; Manaqib as-Syaikh as-Sayyid Muhammad bin Abdul Karim al-Qadiri al-Hasani as-Saman al-Madani; Risalah Nuraniyah fi Syarhit Tawassualtis Sammaniyah; dan Nubdzatun fi Manaqib al-Imam al-Masyhur bil-Ustadz al-A’zham Muhammad bin Ali Ba’Alawy.

Beberapa kisah karamahnya diantaranya adalah sebagai berikut. Saat masih di Kampung Keraton beliau biasanya duduk-duduk dengan beberapa orang sambil bercerita tentang orang-orang terdahulu untuk mengambil pelajaran dari kisah itu. Suatu saat beliau bercerita tentang buah rambutan, yang saat itu belum musimnya. Tiba-tiba beliau mengacungkan tangannya ke belakang, seolah-olah mengambil sesuatu, dan mendadak di tangan beliau sudah memegang buah rambutan matang, yang kemudian beliau makan. Beliau juga bisa memperbanyak makanan – setelah makan sepiring sampai habis, tiba-tiba makanan di piring itu penuh lagi, seakan-akan tak dimakan olehnya. Dikisahkah pula, suatu ketika terjadi musim kemarau panjang, dan sumur-sumur mengering. Masyarakatpun meminta kepada Guru Ijai agar berdoa meminta hujan. Beliau lalu mendekati sebatang pohon pisang, menggoyang-goyangkan pohon itu dan tak lama kemudian hujan pun turun. Beliau juga dikenal bisa menyembuhkan banyak orang dengan kekuatan spiritualnya.

Beberapa Catatan lain berupa beberapa kelebihan beliau adalah dia sudah hafal Al-Qur'an semenjak berusia 7 tahun. Kemudian hapal tafsir Jalalain pada usia 9 tahun. Semenjak kecil, pergaulannya betul-betul dijaga. Kemana pun bepergian selalu ditemani. Pernah suatu ketika beliau ingin bermain-main ke pasar seperti layaknya anak sebayanya semasa kecil. Saat memasuki gerbang pasar, tiba-tiba muncul pamannya, Syaikh Seman Mulya di hadapannya dan memerintahkan untuk pulang. Orang-orang tidak ada yang melihat Syekh, begitu juga sepupu yang menjadi ”bodyguard”-nya. Dia pun langsung pulang ke rumah.

Dalam usia kurang lebih 10 tahun, sudah mendapat khususiat dan anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi yaitu melihat dan mendengar apa yang ada di dalam atau yang terdinding. Dalam usia itu pula beliau didatangi oleh seseorang bekas pemberontak yang sangat ditakuti masyarakat akan kejahatan dan kekejamannya. Kedatangan orang tersebut tentunya sangat mengejutkan keluarga di rumah beliau. Namun apa yang terjadi, laki-laki tersebut ternyata ketika melihat beliau langsung sungkem dan minta ampun serta memohon minta dikontrol atau diperiksakan ilmunya yang selama itu ia amalkan, jika salah atau sesat minta dibetulkan dan dia pun minta agar supaya ditobatkan.

Pada usia 9 tahun pas malam jumat beliau bermimpi melihat sebuah kapal besar turun dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga dengan jubah putih dan di gaun pintu masuk kapal tertulis “Sapinah al-Auliya”. Beliau ingin masuk, tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Dia pun terbangun. Pada malam jum’at berikutnya, ia kembali bermimpi hal serupa. Dan pada malam jumat ketiga, ia kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini ia dipersilahkan masuk dan disambut oleh salah seorang syekh. Ketika sudah masuk ia melihat masih banyak kursi yang kosong.

Ketika beliau merantau ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak disangka tak dikira orang yang pertama kali menyambutnya dan menjadi guru adalah orang yang menyambutnya dalam mimpi tersebut.

Meninggal dunia


Sebelum meninggal dunia Guru Ijai sempat dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura, selama 10 hari. Tetapi pada hari Selasa malam beliau pulang dan tiba di Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin, pada pukul 20.30. Keesokan harinya, Rabu 10 Agustus 2005, pukul 5.10 waktu setempat, beliau meninggal dunia. Ribuan orang berdatangan untuk memberikan penghormatan terakhir dan mengiringi jenazah beliau hingga ke pemakaman. Begitu mendengar kabar meninggalnya Guru Sekumpul lewat pengeras suara di masjid-masjid selepas salat subuh, masyarakat dari berbagai daerah di Kalimantan Selatan berdatangan ke Sekumpul Martapura untuk memberikan penghormatan terakhir pada almarhum. Pasar Martapura yang biasanya sangat ramai pada pagi hari, Rabu pagi itu sepi karena hampir semua kios dan toko-toko tutup. Suasana yang sama juga terlihat di beberapa kantor dinas, termasuk Kantor Bupati Banjar. Sebagian besar karyawan datang ke Sekumpul untuk memberikan penghormatan terakhir. Sebelum dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di dekat Mushalla Ar Raudhah, Rabu sore sekitar pukul 16.00, warga masyarakat yang datang diberikan kesempatan untuk melakukan salat jenazah secara bergantian. Kegiatan ibadah ini berpusat di Mushalla Ar Raudhah, Sekumpul, yang selama ini dijadikan tempat pengajian oleh Guru Sekumpul.
Petuah

Meski memiliki karamah, beliau selalu berpesan agar kita jangan sampai tertipu dengan segala keanehan dan keunikan. Karena bagaimanapun juga karamah adalah anugrah, murni pemberian, bukan suatu keahlian atau skill. Karena itu jangan pernah berpikir atau berniat untuk mendapatkan karamah dengan melakukan ibadah atau wiridan-wiridan. Dan karamah yang paling mulia dan tinggi nilainya adalah istiqamah di jalan Allah itu sendiri. Kalau ada orang mengaku sendiri punya karamah tapi salatnya tidak karuan, maka itu bukan karamah, tapi bakarmi (orang yang keluar sesuatu dari duburnya).

Guru Sekumpul juga sempat memberikan beberapa pesan kepada seluruh masyarakat Islam, yakni:
  • Menghormati ulama dan orang tua
  • Baik sangka terhadap muslimin
  • Murah harta
  • Manis muka
  • Jangan menyakiti orang lain
  • Mengampunkan kesalahan orang lain
  • Jangan bermusuh-musuhan
  • Jangan tamak atau serakah
  • Berpegang kepada Allah, pada kabul segala hajat
  • Yakin keselamatan itu pada kebenaran.



Seputar Nasab Beliau


Beliau sering disebut-sebut sebagai Habib keturunan Rasulullah, padahal beliau sendiri tidak pernah menambahkan dibelakang nama beliau dengan fam tertentu. Lalu darimana isyu tersebut?, mari kita telusuri nasab beliau. 
  1. K H. Muhammad Zaini
  2. Abdul Ghani
  3. H Abdul Manaf
  4. Muhammad Seman
  5. H M. Sa’ad
  6. H. Abdullah
  7. Mufti H. M. Khalid
  8. Khalifah H. Hasanuddin
  9. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari

Sampai disini, tidak ada perbedaan karena memang diingat, dicatat, dan dijaga dengan baik oleh Guru Sekumpul serta keluarga beliau. Perbedaan terjadi ketika kita meneliti nasab dari Sekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang merupakan tokoh Islam terbesar di bumi Banjar.

0 komentar:

Home Ads

Ceramah Inspiratif