Memaafkan Tak Perlu Menunggu Lebaran

Juli 03, 2018 rengo dez 0 Comments


Sejatinya manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan akal dan pikiran. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti semua manusia seluruhnya bersifat baik, karena tidak semuanya menggunakan akal dan pikirannya dengan baik pula.  Selanjutnya yang perlu kita sadari bahwa manusia merupakan makhluk yang diciptakan sebagai tempatnya salah dan lupa,  yang tentunya di situlah terdapat unsur sengaja atau pun tidak sengaja.
Ketika seseorang berbuat kesalahan kepada orang lain,  maka yang perlu dilakukan ialah meminta maaf. Sedangkan bagi seseorang yang dimintai maaf dianjurkan supaya mempunyai jiwa pemaaf dengan hati yang lapang. Suasana lebaran adalah momentum yang tepat untuk saling memaafkan, menyucikan diri, dan menikmati hari kemenangan.
Di Indonesia, perayaan ini biasanya dikemas dalam acara pertemuan tahunan yang khas dan unik yang disebut halalbihalal. Biasanya masyarakat datang ke rumah tetangga sekitarnya, kerabat, bahkan guru alif (guru ngaji), untuk memohon maaf dan meminta kehalalannya atas segala kesalahan yang mungkin pernah dilakukan. Sudah sepantasnya mengungkapkan kesalahan dan bukan saatnya untuk malu mengaku salah.  Karena dosa terhadap sesama akan Allah ampuni jika orang tersebut mau memaafkan kita. Namun, apakah meminta maaf dan memaafkan harus menunggu Idul Fitri?
Rasulullah SAW bersabda “Barang siapa memiliki tanggungan kelaliman terhadap saudaranya, entah dalam hal kehormatan atau pun hartanya, maka hendaklah meminta kehalalannya hari ini. Sebelum datang hari (kiamat) di mana tidak berguna lagi dirham dan dinar. Pada hari kiamat nanti, bila seseorang yang melalimi belum meminta kehalalan dari saudaranya, maka bila ia memiliki amal kebaikan, sebagian amal kebaikannya itu diambil sekadar kelaliman yang ia lakukan untuk diserahkan kepada orang yang pernah ia lalimi. Bila ia sudah tidak memiliki sisa amal kebaikan, maka dosa yang dimiliki orang yang pernah ia lalimi di dunia akan dilimpahkan kepadanya senilai kelaliman yang pernah ia lakukan” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah ra.).
Berdasarkan hadis tersebut sangat jelas bahwa kesalahan itu tidak perlu disembunyikan,  tidak untuk dipendam,  dan tidak pula malu untuk diungkapkan.  Maka sebelum terlambat, sebelum ajal menjemput, dan sebelum datang hari kiamat,  sebaiknya kaum muslim membersihkan hati dan pikiran, terlebih mendapat maaf dari seseorang yang pernah dilalimi, supaya hidup tidak sia-sia kapan saja, bahkan kata Rasulullah dalam hadis di atas, pada hari itu juga.
Maka dari itu,  alangkah lebih baiknya jika setiap saat dilakukan muhasabah atau introspeksi diri, setiap hari meminta maaf dan memaafkan, sehingga tidak harus menunggu halalbihalal saban tahun sekali tiba. Sebagian orang salah kaprah dengan menganggap bahwa minta maaf dapat ditunda ketika lebaran Idul Fitri, padahal kematian bisa datang kapan saja dan dalam keadaan apa saja. Maka sebaiknya minta maaf dan memaafkan menjadi momen harian yang dilakukan.
Penulis mendapatkan satu ibrah menarik dari kisah rumah tangga KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah dan Nyai Hj. Farida Salahuddin. Setiap hari, Nyai Farida meminta keikhlasan maaf kepada sang suami agar mendaptkan rido. Begitu pula Gus Sholah pun meminta maaf dan memberi maaf. Keduanya legowo menurunkan ego sehingga setiap hari keduanya dapat bersih dari saling menyakiti dan segala ketersinggungan. Begitulah rahasia keharmonisan rumah tangga keduanya.
Walau begitu, pumpung ada momen lebaran Idul Fitri, sebaiknya umat Islam menjadikannya sebagai ajang penyucian diri dan penebus dosa, menjadi usaha seminimal-minimal mungkin. Muslim harus mengingat bahwa hidup hanya sementara,  apapun yang dipunya sejatinya hanya milik Allah semata,  dan segala sesuatu itu akan kembali kepada-Nya pula.  Karena semuanya hanyalah titipan Allah agar manusia menjadi khalifah (pemimpi) di muka bumi ini.  Sementara seorang khalifah itu sendiri harus mampu menjadi teladan yang baik dan bertanggung jawab.
Rasulullah SAW juga bersabda, “Allah merahmati seorang hamba yang pernah berbuat lalim terhadap harta dan kehormatan saudaranya, lalu ia mau datang kepada saudara yang dilaliminya itu untuk minta kehalalannya (minta maaf) sebelum ajal menjemput,” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Dalam Al Quran pun Allah sudah menegaskan:
Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ ÙŠُØ­ِبُّ التَّÙˆَّابِينَ ÙˆَÙŠُØ­ِبُّ الْÙ…ُتَØ·َÙ‡ِّرِينَ
Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” (QS. Ali Imron: 222).
Maka, marilah kita membuka hati untuk selalu menyucikan diri dan menebar kebaikan. Menurunkan ego memang bukan perkara muda. Namun, akan lebih sulit lagi jika kesalahan dan kelalilaman kita pada sesama menjadi pemberat kita nanti di akhirat, menjadi cela negatif ketika timbangan amal dipamerkan. Nauzdzubillahi min dzalik. Wallahu a’lam bishshawab.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Sumber: Riyadus Shalihin dan Shahih Bukhori

0 komentar:

Home Ads

Ceramah Inspiratif