Imam Syafi'i

Agustus 08, 2017 rengo dez 0 Comments

Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi'i


Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Muththalibi al-Qurasyi (Arab: أبو عبد الله محمد بن إدريس الشافعيّ المطَّلِبيّ القرشيّ‎) atau singkatnya Imam Asy-Syafi'i (Ashkelon, Gaza, Palestina, 150 H/767 M - Fusthat, Mesir, 204 H/819 M) adalah seorang mufti besarSunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad.

Saat usia 13 tahun, Imam Syafi'i dikirim ibunya untuk pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.

Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi'i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.

Kelahiran dan kehidupan keluarga

Idris bin Abbas menyertai istrinya dalam sebuah perjalanan yang cukup jauh, yaitu menuju kampung Gaza, Palestina, di mana saat itu umat Islam sedang berperang membela negeri Islam di kota Asqalan.

Pada saat itu Fatimah al-Azdiyyah sedang mengandung, Idris bin Abbas gembira dengan hal ini, lalu ia berkata, "Jika engkau melahirkan seorang putra, maka akan kunamakan Muhammad, dan akan aku panggil dengan nama salah seorang kakeknya yaitu Syafi'i bin Asy-Syaib."

Akhirnya Fatimah melahirkan di Gaza, dan terbuktilah apa yang dicita-citakan ayahnya. Anak itu dinamakan Muhammad, dan dipanggil dengan nama "asy-Syafi'i".

Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i."


Nasab


Idris, ayah Imam Syafi'i tinggal di tanah Hijaz, ia merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Dia adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.

Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .

Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .

Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:
“ Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil dia menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan dia. ”

— HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66

Masa belajar

Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.

Belajar di Makkah


Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian dia juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.

Belajar di Madinah


Kemudian ia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Di majelisnya ini, Imam Syafi’i menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Imam Syafi’i menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga ia menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Ia juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga ia menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Ia juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataannya di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling ia kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, Imam Syafi’i juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, gurunya yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayatnya, ia tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.

Di Yaman

Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh dia ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, dia melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini dia banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga dia mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.

Di Baghdad, Irak

Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.

Di Mesir

Di Mesir Imam Syafi'i bertemu dengan murid Imam Malik yakni Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakim. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (qaul qadim). Kemudian dia pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (qaul jadid). Di sana dia wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.


Karya tulis


Ar-Risalah

Salah satu karangannya adalah “Ar-risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Dia adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”


Mazhab Syafi'i


Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dia juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah),”
Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun dia bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan dia benci kepada Ahlil Kalam (maksudnya adalah golongan Ahwiyyah atau pengikut hawa nafsu yang juga digelari sebagai Ahlul-Ahwa’ seperti al-Mujassimahal-Mu'tazilahJabbariyyah dan yang sebagainya) dan Ahlil Bid’ah.” Dia bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.” Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam (ilmu falsafah dan logika yang digunakan oleh golongan Ahwiyyah)”
Dia mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu dia banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan dia pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, dia menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga dia menulis kitab Jima’ul Ilmi.
Dia mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah:
  1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.
  2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani
  3. Ishaq bin Rahawaih,
  4. Harmalah bin Yahya
  5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi
  6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.

Al-Hujjah


Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.
Dalam masalah Al-Qur’an, dia Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah Qalamullah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”

Al-Umm


Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka buanglah perkataanku di belakang tembok,”
“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari (ucapan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”.
"Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”
Dia berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”
Dia berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.”
Dia mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”

Akhir Hayat


Pada suatu hari, Imam Syafi'i terkena wasir, dan tetap begitu hingga terkadang jika ia naik kendaraan darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan kaus kakinya. Wasir ini benar-benar menyiksanya selama hampir empat tahun, ia menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir, menghasilkan empat ribu lembar. Selain itu ia terus mengajar, meneliti dialog serta mengkaji baik siang maupun malam.
Pada suatu hari muridnya Al-Muzani masuk menghadap dan berkata, "Bagamana kondisi Anda wahai guru?" Imam Syafi'i menjawab, "Aku telah siap meninggalkan dunia, meninggalkan para saudara dan teman, mulai meneguk minuman kematian, kepada Allah dzikir terus terucap. Sungguh, Demi Allah, aku tak tahu apakah jiwaku akan berjalan menuju surga sehingga perlu aku ucapkan selamat, atau sedang menuju neraka sehingga aku harus berkabung?".
Setelah itu, dia melihat di sekelilingnya seraya berkata kepada mereka, "Jika aku meninggal, pergilah kalian kepada wali (penguasa), dan mintalah kepadanya agar mau memandikanku," lalu sepupunya berkata, "Kami akan turun sebentar untuk salat." Imam menjawab, "Pergilah dan setelah itu duduklah disini menunggu keluarnya ruhku." Setelah sepupu dan murid-muridnya salat, sang Imam bertanya, "Apakah engkau sudah salat?" lalu mereka menjawab, "Sudah", lalu ia minta segelas air, pada saat itu sedang musim dingin, mereka berkata, "Biar kami campur dengan air hangat," ia berkata, "Jangan, sebaiknya dengan air safarjal". Setelah itu ia wafat. Imam Syafi'i wafat pada malam Jum'at menjelang subuh pada hari terakhir bulan Rajab tahun 204 Hijriyyah atau tahun 809 Miladiyyah pada usia 52 tahun.
Tidak lama setelah kabar kematiannya tersebar di Mesir hingga kesedihan dan duka melanda seluruh warga, mereka semua keluar dari rumah ingin membawa jenazah di atas pundak, karena dahsyatnya kesedihan yang menempa mereka. Tidak ada perkataan yang terucap saat itu selain permohonan rahmat dan ridha untuk yang telah pergi.
Sejumlah ulama pergi menemui wali Mesir yaitu Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam, memintanya datang ke rumah duka untuk memandikan Imam sesuai dengan wasiatnya. Ia berkata kepada mereka, "Apakah Imam meninggalkan hutang?", "Benar!" jawab mereka serempak. Lalu wali Mesir memerintahkan untuk melunasi hutang-hutang Imam seluruhnya. Setelah itu wali Mesir memandikan jasad sang Imam.
Jenazah Imam Syafi'i diangkat dari rumahnya, melewati jalan al-Fusthath dan pasarnya hingga sampai ke daerah Darbi as-Siba, sekarang jalan Sayyidah an-Nafisah. Dan, Sayyidah Nafisah meminta untuk memasukkan jenazah Imam ke rumahnya, setelah jenazah dimasukkan, dia turun ke halaman rumah kemudian salat jenazah, dan berkata, "Semoga Allah merahmati asy-Syafi'i, sungguh ia benar-benar berwudhu dengan baik."
Jenazah kemudian dibawa, sampai ke tanah anak-anak Ibnu Abdi al-Hakam, disanalah ia dikuburkan, yang kemudian terkenal dengan Turbah asy-Syafi'i sampai hari ini, dan disana pula dibangun sebuan masjid yang diberi nama Masjid asy-Syafi'i. Penduduk Mesir terus menerus menziarahi makam sang Imam sampai 40 hari 40 malam, setiap penziarah tak mudah dapat sampai ke makamnya karena banyaknya peziarah.


0 komentar:

Imam Maliki

Agustus 08, 2017 rengo dez 0 Comments

Malik bin Anas


Mālik ibn Anas bin Malik bin 'Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), (Bahasa Arab: مالك بن أنس), lahir di (Madinah pada tahun 714M / 93H), dan meninggal pada tahun 800M / 179H). Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadits, serta pendiri Mazhab Maliki.

Biografi

Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. Imama malik dilahirkan di Madinah al Munawwaroh. sedangkan mengenai masalah tahun kelahiranya terdapat perbedaaan riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahwa imam malik dilahirkan pada 95 H. sedangkan Imam Adz-Dzahabi meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Imam yahya bin bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar malik berkata : " Aku dilahirkan pada 93 H ". dan inilah riwayat yang paling benar (menurut al-Sam'ani dan ibn farhun)[3].

Imam Malik bin Anas dikenal luas akan kecerdasannya.Suatu waktu ia pernah dibacakan 31 buah Hadits Rasulullah SAW dan mampu mengulanginya dengan baik dan benar tanpa harus menuliskannya terlebih dahulu.

Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.

Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.

Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibnu Hazm berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mengetahui bandingannya.

Hadits-hadits yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.

Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, Az-Zuhri, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.

Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali di antaranya ada yang lebih tua darinya seperti Az-Zuhri dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.

Malik bin Anas menyusun kompilasi hadits dan ucapan para sahabat dalam buku yang terkenal hingga kini, Al Muwatta.

Imam Malik diketahui sangat jarang keluar dari kota Madinah.Ia memilih menyibukan diri dengan mengajar dan berdakwah di kota tempat Rasulullah SAW wafat tersebut.Beliau sesekali keluar dari kota Madinah untuk melakukan ritual ibadah haji di kota mekkah

Di antara guru dia adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az-Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az-Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain.

Di antara murid dia adalah Ibnul Mubarak, Al Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qasim, Al Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al-Andalusi,Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Zubairi, dan lain-lain.

Pujian Ulama Untuk Imam Malik

An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, tepercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.

(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).

Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.

Imam as-Syafi'i berkata, "Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah para Tabi'in[3] ".

Yahya bin Ma'in berkata, "Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) Hadits"

Ayyub bin Suwaid berkata, "Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah) dan as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya".

Ahmad bin Hanbal berkata, " Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid'ah"

Seseorang bertanya kepada as-Syafi'i, " apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti imam malik?" as-Syafi'i menjawab :"aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu daripada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang) menemui yang seperti Malik?[3]

Imam Abu Hanifah berkata, "Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih pandai tentang sunnah Rasulullah dari Imam Malik."

Abdurrahman bin Mahdi, " Aku tidak pernah tahu seorang ulama Hijaz kecuali mereka menghormati Imam Malik, sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umat Muhammad, kecuali dalam petunjuk."

Ibnu Atsir, "Cukuplah kemuliaan bagi asy-Syafi'i bahwa syaikhnya adalah Imam Malik, dan cukuplah kemuliaan bagi Malik bahwa di antara muridnya adalah asy-Syafi'i."

Abdullah bin Mubarak berkata, "Tidak pernah aku melihat seorang penulis ilmu Rasulullah lebih berwibawa dari Malik, dan lebih besar penghormatannya terhadap hadits Rasulullah dari Malik, serta kikir terhadap agamanya dari Malik, jika dikatakan kepadaku pilihlah Imam bagi umat ini, maka aku akan pilih Malik."

Laits bin Saad berkata, "Tidak ada orang yang lebih aku cintai di muka bumi ini dari Malik."

Kitab Al-Muwaththa

Al-Muwaththa berarti ‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Al-Muwaththa merupakan sebuah kitab yang berisikan hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang merangkum ilmu hadits, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis adalah sahih kerana Imam Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadits. Dia sangat berhati-hati ketika menapis, mengasingkan, dan membahas serta menolak riwayat yang meragukan. Dari 100.000 hadits yang dihafal dia, hanya 10.000 saja diakui sah dan dari 10.000 hadits itu, hanya 5.000 saja yang disahkan sahih olehnya setelah diteliti dan dibandingkan dengan al-Quran. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpul dan menapis hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya. Imam Syafii pernah berkata, “Tiada sebuah kitab di muka bumi ini setelah al qur`an yang lebih banyak mengandungi kebenaran selain dari kitab Al-Muwaththa karangan Imam Malik, inilah karangan para ulama muaqoddimin.”

Akhir Hayat


Menjelang wafat, Imam Malik ditanya masalah kemana ia tak pergi lagi ke Masjid Nabawi selama tujuh tahun, ia menjawab, "Seandainya bukan karena akhir dari kehidupan saya di dunia, dan awal kehidupan di akhirat, aku tidak akan memberitahukan hal ini kepada kalian. Yang menghalangiku untuk melakukan semua itu adalah penyakit sering buang air kecil, karena sebab ini aku tak sanggup untuk mendatangi Masjid Rasulullah. Dan, aku tak suka menyebutkan penyakitku, karena khawatir aku akan selalu mengadu kepada Allah." Imam Malik mulai jatuh sakit pada hari Minggu sampai 22 hari lalu wafat pada hari Minggu, tanggal 10 Rabi'ul Awwal 179 Hijriyyah atau 800 Miladiyyah.
Masyarakat Medinah menjalankan wasiat yang ia sampaikan, yakni dikafani dengan kain putih, dan disalati diatas keranda. Imam shalat jenazahnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Hasyimi yang merupakan gubernur Madinah. Gubernur Madinah datang melayat dengan jalan kaki, bahkan termasuk salah satu yang ikut serta dalam mengangkat jenazah hingga ke makamnya. Dia dimakamkan di Pemakaman Baqi', seluruh murid-murid dia turut mengebumikan dia.
Informasi tentang kematitan dia tersebar di seantero negeri Islam, mereka sungguh sangat bersedih dan merasa sangat kehilangan, seraya mendoakan dia agar selalu dilimpahi rahmat dan pahala yang belipat ganda berkat ilmu dan amal yang dia persembahkan untuk Islam.

0 komentar:

Mazhab Hanafi

Agustus 08, 2017 rengo dez 0 Comments

Abu Hanifah


Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi (Arab: النعمان بن ثابت), lebih dikenal dengan nama Abū Ḥanīfah, (Arab: بو حنيفة) (lahir di Kufah, Irak pada 80 H / 699 M — meninggal di Baghdad, Irak, 148 H / 767 M) merupakan pendiri dari Madzhab Yurisprudensi Islam Hanafi.
Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi'in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan hadis darinya serta sahabat lainnya.[3]
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), salat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i,Abu Dawud, Imam Bukhari.

Menuntut Ilmu


Abu Hanifah kecil sering mendampingi ayahnya berdagang sutra. Namun, tidak seperti pedagang lainnya, Abu Hanifah memiliki kebiasaan pergi ke Masjid Kufah. Karena kecerdasannya yang gemilang, ia mampu menghafal Al-Qur'an serta ribuan hadits.

Sebagaimana putra seorang pedagang, Abu Hanifah pun kemudian berprofesi seperti bapaknya. Ia mendapat banyak keuntungan dari profesi ini. Di sisi lain ia memiliki wawasan yang sangat luas, kecerdasan yang luar biasa, serta hafalan yang sangat kuat. Beberapa ulama dapat menangkap fenomena ini, sehingga mereka menganjurkannya untuk pergi berguru kepada ulama seperti ia pergi ke pasar setiap hari.

Pada masa Abu Hanifah menuntut ilmu, Iraq termasuk Kufah disibukkan dengan tiga halaqah keilmuan. Pertama, halaqah yang membahas pokok-pokok aqidah. Kedua, halaqah yang membahas tentang Hadits Rasulullah metode dan proses pengumpulannya dari berbagai negara, serta pembahasan dari perawi dan kemungkinan diterima atau tidaknya pribadi dan riwayat mereka. Ketiga, halaqah yang membahas masalah fikih dari Al-Qur'an dan Hadits, termasuk membahas fatawa untuk menjawab masalah-masalah baru yang muncul saat itu, yang belum pernah muncul sebelumnya.

Abu Hanifah melibatkan diri dalam dialog tentang ilmu kalam, tauhid dan metafisika. Menghadiri kajian hadits dan periwayatannya, sehingga ia mempunyai andil besar dalam bidang ini.

Setelah Abu Hanifah menjelajahi bidang-bidang keilmuan secara mendalam, ia memilih bidang fikih sebagai konsentrasi kajian. Ia mulai mempelajari berbagai permasalahan fikih dengan cara berguru kepada salah satu Syaikh ternama di Kufah, ia terus menimba ilmu darinya hingga selesai. Sementara Kufah saat itu menjadi tempat domisili bagi ulama fikih Iraq.

Abu Hanifah sangat antusias dalam menghadiri dan menyertai gurunya, hanya saja ia terkenal sebagai murid yang banyak bertanya dan berdebat, serta bersikeras mempertahankan pendapatnya, terkadang menjadikan syaikh kesal padanya, namun karena kecintaannya pada sang murid, ia selalu mencari tahu tentang kondisi perkembangannya. Dari informasi yang ia peroleh, akhirnya sang syaikh tahu bahwa ia selalu bangun malam, menghidupkannya dengan salat dan tilawah Al-Qur'an. Karena banyaknya informasi yang ia dengar maka syaikh menamakannya Al-Watad.

Selama 18 tahun, Abu Hanifah berguru kepada Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman, saat itu ia masih 22 tahun. Karena dianggap telah cukup, ia mencari waktu yang tepat untuk bisa mandiri, namun setiap kali mencoba lepas dari gurunya, ia merasakan bahwa ia masih membutuhkannya.

Menjadi Ulama

Kabar buruk terhembus dari Basrah untuk Syaikh Hammad, seorang keluarga dekatnya telah wafat, sementara ia menjadi salah satu ahli warisnya. Ketika ia memutuskan untuk pergi ke Basrah ia meminta Abu Hanifah untuk menggantikan posisinya sebagai pengajar, pemberi fatawa dan pengarah dialog.

Saat Abu Hanifah mengantikan posisi Syaikh Hammad, ia dihujani oleh pertanyaan yang sangat banyak, sebagian belum pernah ia dengar sebelumnya, maka sebagian ia jawab dan sebagian yang lain ia tangguhkan. Ketika Syaikh Hammad datang dari Basrah ia segera mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang tidak kurang dari 60 pertanyaan, 40 diantaranya sama dengan jawaban Abu Hanifah, dan berbeda pendapat dalam 20 jawaban.

Dari peristiwa ini ia merasa bahawa masih banyak kekurangan yang ia rasakan, maka ia memutuskan untuk menunggu sang guru di halaqah ilmu, sehingga ia dapat mengoreksikan kepadanya ilmu yang telah ia dapatkan, serta mempelajari yang belum ia ketahui.

Ketika umurnya menginjak usia 40 tahun, gurunya Syaikh Hammad telah wafat, maka ia segera menggantikan gurunya.

Abu Hanifah tak hanya mengambil ilmu dari Syaikh Hammad, tetapi juga banyak ulama selama perjalanan ke Makkah dan Madinah, diantaranya Malik bin Anas, Zaid bin Ali danJa'far ash-Shadiq yang mempunyai konsen besar terhadap masalah fikih dan hadits.

Penolakan Sebagai Hakim

Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur berkata kepada menterinya, "Aku sedang membutuhkan seorang hakim yang bisa menegakkan keadilan di negara kita ini, dengan kualifikasi dia tidak takut kepada siapapun dalam menegakkan kebenaran, paling memahami Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Menurutmu siapa yang layak menduduki posisi ini?", lalu sang menteri menjawab, "Sejauh pengetahuan saya, ulama yang paling tepat menduduki jabatan ini adalah Abu Hanifah An-Nu'man, betapa bahagianya kita jika ia menerima tawaran sebagai hakim ini!", "Apa mungkin seseorang bisa menolak jika kita yang memintanya?" tanya Khalifah lagi, "Sejauh yang kami tahu, dia tidak pernah tunduk kepada permintaan siapapun, tampaknya dia tidak suka menduduki posisi sebagai hakim, maka utuslah seseorang utusan mudah-mudahan hatinya terbuka, dan menerima tawaran ini."

Khalifah kemudian mengutus seorang utusan memintanya untuk menghadap seraya menawarkan posisi sebagai hakim. Abu Hanifah menjawab, "Aku akan istikharah terlebih dahulu, salat 2 rakaat meminta petunjuk kepada Allah, jika hatiku dibuka maka akan aku terima, jika tidak maka masih banyak ahli fikih lain yang bisa dipilih salah satu daintara mereka oleh Amirul Mukminin."

Waktu terus berjalan, ternyata Abu Hanifah tak kunjung menghadap Khalifah, maka ia mengutus seorang utusan memintanya menghadap, Abu Hanifah kemudian pergi menghadap namun ia beritikad untuk menolak jabatan hakim yang ditawarkan kepadanya.

Ternyata Khalifah tidak menyerah begitu saja, ia bersumpah agar Abu Hanifah menerima jabatan sebagai hakim yang ditawarkan, akan tetapi Abu Hanifah tetap menolaknya, seraya berkata, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku tak pantas untuk menduduki jabatan hakim," lalu Khalifah malah menjawab, "Engkau dusta!" sehingga Abu Hanifah pun berkata, "Sekiranya Anda telah menghukumi saya sebagai pembohong, maka sesungguhnya para pembohong tak layak menjadi hakim, dan sebaiknya Anda jangan mengangkat rakyat Anda yang tidak memenuhi kualifikasi untuk menduduki jabatan yang strategis ini. Wahai Amirul Mukminin, takutlah kepada Allah, dan jangan Anda delegasikan amanah kecuali kepada mereka yang takut kepada Allah, jika saya tidak mendapat jaminan keridhaan, bagaimana saya akan mendapat jaminan terhindar dari murka?". Khalifah lalu memerintahkan mencambuknya seratus cambukan, lalu dijebloskannya ke penjara.

Selang beberapa hari, khalifah mendapat teguran dari seorang kerabatnya, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Anda telah mencambuk diri Anda dengan seratus ribu pukulan pedang."

Maka khalifah segera memerintahkan untuk membayar 30.000 dirham (sekitar Rp.2,1 miliar) kepada Abu Hanifah sebagai ganti atas yang telah dideritanya, lalu membebaskannya dan mengembalikan ke rumahnya.

Ternyata setelah harta tersebut diberikan, ia menolaknya. Maka khalifah memerintahkan untuk menjebloskan kembali ke penjara. Hanya saja para menteri mengusulkan bahwa Abu Hanifah segera dibebaskan dan cukup diberi dengan penjara rumah, serta melarangnya untuk duduk bersama masyarakat atau keluar dari rumah.

Akhir Hayat

Selang beberapa hari setelah mendapatkan tahanan rumah, ia terkena penyakit, semakin lama semakin parah. Akhirnya ia wafat pada usia 68 tahun. Berita kematiannya segera menyebar, ketika Khalifah mendengar berita itu, ia berkata, "Siapa yang bisa memaafkanku darimu hidup maupun mati?" Salah seorang ulama Kufah berkata, "Cahaya keilmuan telah dimatikan dari kota Kufah, sungguh mereka tidak pernah melihat ulama sekaiber dia selamanya." Yang lain berkata, "Kini mufti dan fakih Irak telah tiada."

Jasadnya dikeluarkan dipanggul di atas punggung kelima muridnya, hingga sampai tempat pemandian, ia dimandikan oleh Al-Hasan bin Imarah, sementara Al-Harawi yang menyiramkan air ke tubuhnya. Ia disalatkan lebih dari 50.000 orang. Dalam enam kali putaran yang ditutup dengan salat oleh anaknya, Hammad. Ia tak dapat dikuburkan kecuali setelah salat Ashar karena sesak, dan banyak tangisan. Ia berwasiat agar jasadnya dikuburkan di Kuburan Al-Khairazan, karena merupakan tanah kubur yang baik dan bukan tanah curian.

Pujian Ulama

Imam Malik

"Subhanallah, Saya belum pernah melihat sosok seperti dia, Demi Allah, jika Abu Hanifah berpendapat bahwa sebuah alat terbuat dari emas, maka pasti ia sanggup mempertengahkan kebenaran atas perkataannya itu."

Imam Syafi'i

"Barangsiapa ingin memperdalam fikih, maka hendaklah menjadi anak asuh bagi Abu Hanifah, Abu Hanifah merupakan orang yang diberi taufik oleh Allah dalam bidang fikih."

"Barangsiapa belum membaca buku-buku Abu Hanifah, maka ia belum memperdalam ilmu, juga belum belajar fikih."

Imam Ahmad bin Hambal

"Subhanallah, ia berada dalam posisi keilmuan, wara' dan zuhud, mementingkan akhirat, yang tidak dilihat oleh seorangpun."

Ibnu Juraij


"Aku mendengar bahwa an-Nu'man (julukan Abu Hanifah) orang yang paling wara', menjaga agama dengan ilmunya, tidak mengedepankan pecinta dunia di atas pecinta akhirat, saya berkeyakinan bahwa dalam dunia keilmuan dia akan memiliki prestasi yang menakjubkan."

Imam Fudhail bin Iyadh


"Abu Hanifah merupakan pribadi fakih yang terkenal dengan kefakihannya, kekayaan yang cukup luas, terkenal dengan kebaikan terhadap setiap orang yang mengganggunya, sangat sabar dalam menuntut ilmu baik siang maupun malam, selalu diam, sedikit berbicara hingga datang kepadanya masalah-masalah halal dan haram, sangat cermat dalam menunjukkan kebenaran, selalu lari dari harta penguasa."

.


Mazhab Hanafi ialah salah satu mazhab fiqh dalam Islam Sunni. Mazhab ini didirikan oleh Imam Abu Hanifah yang bernama lengkap Abu Hanifah bin Nu'man bin Tsabit Al-Taimi Al-Kufi, dan terkenal sebagai mazhab yang paling terbuka kepada ide modern. Mazhab ini diamalkan terutama sekali di kalangan orang Islam Sunni MesirTurkianak-benua IndiaTiongkok dan sebagian Afrika Barat, walaupun pelajar Islam seluruh dunia belajar dan melihat pendapatnya mengenai amalan Islam. Mazhab Hanafi merupakan mazhab terbesar dengan 30% pengikut.

Metodologi Fiqih Abu Hanifah


Dasar-dasar Abu Hanifah dalam Menetapkan suatu hukum fiqh bisa dilihat dari urutan berikut:
  1. Al-Qur'an
  2. Sunnah, di mana dia selalu mengambil sunnah yang mutawatir/masyhur. Dia mengambil sunnah yang diriwayatkan secara ahad hanya bila rawi darinya tsiqah.
  3. Pendapat para Sahabat Nabi (Atsar)
  4. Qiyas
  5. Istihsan
  6. Ijma' para ulama
  7. Urf masyarakat muslim


0 komentar:

Jangan Sembarangan Membid’ahkan Dan Memvonis Ahli Bid’ah

Agustus 08, 2017 rengo dez 0 Comments


“Kawan, itu bid’ah lho, nanti amalnya tidak di terima, bisa terancam kekafiran juga”
“pak, kegiatan kayak gini bd’ah pak, nanti kalo begini terus saya lebih baik bergaul dengan kera dan hewan di hutan daripada bergaul dengan ahli bid’ah seperti dalam hadits”

Dalam Masa Islam yg sekarang ini mengapa sering & banyak sekali orang sesama muslim mudah sekali Membid'ahkan sesuatu??
kamu berbuat ini Bid'ah,
Mau berbuat amal ini itu tidak ada Hadistnya?
bahkan ada pesan moral yg baik dia bilang "itu Hadistnya lemah?

WHY????

Kenapa Harus sesama muslim saling menyakiti dengan mengatakan dia "SESAT"



Ada sebagian kecil kaum muslimin yang asal-asalan dan serampangan mebid’ahkan dan memvonis ahli bid’ah. Kalaupun benar bid’ah, caranya yang salah, tidak hikmah dalam berdakwah. Langsung serampangan dan keras, seharusnya melihat keadaan dan orang yang di dakwah. Bisa jadi karena kurangnya ilmu dan pemahaman tentang bid’ah atau terlalu semangat dan berlebihan dalam memvonis atau juga sudah menganggap dirinya lebih hebat dan bisa jadi juga timbul rasa hasad dengan dengan dakwah seseorang yang berkembang pesat sehingga berusaha menjatuhkannya dan memvonis bid’ah.
Yang kami sorot di sini adalah orang yang gampang memvonis bid’ah padahal bukan bid’ah, hal ini karena kurangnya ilmu pada mereka.

Beberapa (sangat sedikit) Sahabat saja bisa salah menilai bid’ah
Bukan maksudnya para Sahabt Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak yang terjerumus dalam kesalahan membid’ahkan. Akan tetapi makusdnya yaitu beberapa  sahabat saja bisa salah menilai bahwa ini adalah bd’ah, karena ilmu belum sampai kepada mereka, padahal mereka adalah didikan langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka bagaimana lagi kita? Tentu kita harus lebih hati-hati lagi membid’ahkan dna memvonis ahli bid’ah.
Syaikh Ali Hasan Al-Halabi hafizahullah berkata,
فذاك صحابي جليل تربى في ظلال الوحي, و مع ذالك فاتته سنة نبوي, فأنكر فاعلها لعدم وقوعه عليها, فكيف بغيره ممن هو دونه بدرجات من أهل هذه العصور فيما قبله؟!
“Jika Sahabat yang mulia dibimbing dengan bimbingan wayu akan tetapi mereka bisa luput dari mengetahui sunnah. Maka ia ingkari pelakunya (karena disangka bid’ah) karena mereka tidak tahu (bahwa yang dilakukan ada tuntunannya dalam syariat). Maka bagaimana dengan yang lainnya? Yang derajat mereka di bawah sahabat, yaitu orang di zaman ini?”[1]
 Contohnya:
Diriwayatkan dari Sa’ab bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu,
أنه سمع رجلا يقول في تلبيته : لبيك ذا المعارج ، فقال له : إن الله ذو المعارج, و لكن لم نكن نقول ذالك مع النبي صلى الله عليه و سلم
“Bahwasanya ia mendengar seseorang laki-laki bertalbiyah: ‘Labbaik dzal ma’arij’. Maka ia berkata kepada laki-laki itu, ‘sesungguhnya Allah dzul ma’arij , akan tetapi kami tidak pernah mengucapkannya bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[2]
Perhatikan sahabat Sa’ab bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu mengingkari perbuatan laki-laki tersebut dan menganggapnya bid’ah. Beliau mengingkari karena tidak tahu, padahal perbuatan tersebut pernah merupakan sunnah taqriri (yaitu ditetapkan/dibiarkan  oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)berikut dalilnya.
Hadits dari Jabir radhiallahu ‘anhu yaitu ada lafadz talbiyah “labbaik Allahumma labbaik”, kemudia ia menambahkan,
و الناس يزيدون ذا المعارج و نحوه من الكلام و النبي صلى الله عليه و سلم يسمع فلا يقول لهم شيئا
“Dan manusia menambahkannya:  ‘dzal ma’arij’ dan senejisnya (yaitu nama-nama Allah yang husna) sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkannya, beliau tidak berkata apapun (untuk mengingkarinya).”[3]
Maka jelas ini adalah dalil bolehnya bertalbiyah dengan lafadz “labbaik dzal ma’arij” karena merupakan taqrir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi Sa’ab bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu menilainya bid’ah karena tidak mengetahuinya.
Contoh lainnya:
Ketika sahabat Sa’ab bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu meninggal , maka para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta agar jenazahnya dilewatkan ke masjid agar mereka bisa menshalatkannya. Maka manusia saat itu tidak mau karena menganggap hal ini bid’ah yaitu menshalati jenazah di masjid.
فبلغهن أن الناس عابوا ذلك وقالوا ما كانت الجنائز يدخل بها المسجد فبلغ ذلك عائشة فقالت ما أسرع الناس إلى أن يعيبوا ما لا علم لهم به عابوا علينا أن يمر بجنازة في المسجد, و الله ما صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم علي سهيل بن بيضاء و أخيه إلا في جوف المسجد
Maka sampai berita kepada mereka bahwa manusia enggan, mereka berkata bahwa tidak boleh jenazah masuk ke masjid. Maka berita  ini sampai kepada ‘Aisyah, maka ia berkata:
‘Betapa cepatnya manusia mencela apa yang mereka tidak punya ilmu padanya, mereka enggan melewatkan jenazah di masjid.Demi Allah, tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatkan Suhail bin Baidha’ dan saudaranya kecuali di dalam masjid.”[4]
Oleh karena itu hendaknya kita yang ilmu dan derajatnya di bawah para sahabat lebih berhati-hati dalam menilai bid’ah dan memvonis ahli bid’ah.

Contoh yang sekarang sering dianggap bid’ah padahal bukan
Berikut ini beberapa contoh yang disangka bid’ah total, tidak ada tawar-menawar. Padahal jika kita melihat pendapat ulama yang lain, hal itu tidak sampai derajat bid’ah.
1.Shalat tarawih 23 rakaat
Beberapa riwayat menunjukkan bahwa shalat tarawih tidak pernah lebih dari 11 rakaat.
Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.”[5]
Maka sebagian yang mendengar ada 23 rakaat menganggapnya bid’a. Apalagi prakteknya shalat 23 rakaat sering tidak khusyu’ dan tuma’ninah karena mengejar jumlah rakaat yang banyak.
Akan tetapi ada dalil lainnya yang menunjukkan bahwa shalat tarawih 23 rakaat.
Abdurrazaq Ash-Shan’ani meriwayatkan perkataan As-Sa`ib bin Yazid,
كُنَّا نَنْصَرِفُ مِنَ الْقِيَامِ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ وَقَدْ دَنَا فُرُوْعُ الْفَجْرِ ، وَكَانَ الْقِيَامُ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ ثَلَاثَةً وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً .
“Kami beranjak dari qiyamullail pada masa Umar ketika waktu fajar sudah dekat.Qiyamullail pada masa Umar adalah 23 rakaat.”[6]
Dan masih ada dalil-dalil yang lainnya. Oleh karena itu kita harus menghormati mereka yang shalat tawarih 23 rakaat.

2. Biji Tasbih
Beberapa orang keras dengan hal ini. Biji tasbih bid’ah total dan bahkan menyerupai (tasyabbuh) dengan orang kafir yaitu pendeta budha. Mereka berkata, gunakanlah jari tangan karena akan bersaksi di hari kiamat.
Akan tetapi jika kita melihat beberapa pendapat ulama yang lain, mereka membolehkan menggunakn biji tasbih.
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata,
ويباح استعمال السبحة ليعد بها الأذكار والتسبيحات من غير اعتقاد أن فيها فضيلة خاصة وكرهها بعض العلماء.
“Dibolehkan menggunakan biji tasbih untuk menghitung bacaan-bacaan dzikir dan tasbih asal tanpa ada keyakinan bahwa biji tasbih itu mengandung keutamaan khusus. Namun menggunakan biji tasbih itu dimakruhkan oleh sebagian ulama.”[9]
Syaikh Bin baz rahimahullah berkata,
المسبحة لا ينبغي فعلها ، تركها أولى وأحوط ، والتسبيح بالأصابع أفضل ، لكن يجوز له لو سبح بشيء كالحصى أو المسبحة أو النوى ، وتركها ذلك في بيته ، حتى لا يقلده الناس فقد كان بعض السلف يعمله ، والأمر واسع لكن الأصابع أفضل في كل مكان ، والأفضل باليد اليمنى ، أما كونها في يده وفي المساجد فهذا لا ينبغي ، أقل الأحوال الكراهة
“Berzikir dengan subhah tidak patut dilakukan, meninggalkannya adalah lebih utama dan lebih hati-hati. Tetapi boleh baginya kalau bertasbih menggunakan kerikil atau misbahah (alat tasbih) atau biji-bijian dan meninggalkan  subhah tersebut dirumahnya,  agar manusia tidak mentaklidinya. Dahulu para salaf -pun melakukannya. Masalah ini  lapang, tetapi menggunakan jari adalah lebih utama pada setiap tempat, dan utamanya dengan tangan kanan. Ada pun membawanya  ditangan ke masjid, sepatutnya jangan dilakukan, minimal hal itu makruh.”[10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن وكان من الصحابة رضي الله عنهم من يفعل ذلك وقد رأى النبي أم المؤمنين تسبح بالحصى واقرها على ذلك وروى أن أبا هريرة كان يسبح به
“Adapun menghitung tasbih dengan biji-bijian dan batu-batu kecil (semacam kerikil) dan semisalnya, maka hal itu perbuatan baik (hasan). Dahulu sebagian sahabatpun (Radhiallahu ‘Anhum )ada yang memakainya dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melihat ummul mukminin bertasbih dengan batu-batu kecil dan beliau menyetujuinya. Diriwayatk an pula bahwa Abu Hurairah pernah bertasbih dengan batu-batu kecil tersebut.”[11]

Demikianlah hendaknya kita tidak kaku dan keras dan hendaknya kita senstiasa menuntut ilmu agar menghilangkan sedikit demi sedikit kebodohan kita.

Berikut Pesan Imam Syafi'i

فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح
Berusahalah engkau menjadi seorang yg mempelajari ilmu fiqih & juga menjalani tasawwuf, & janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.

Orang yag hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawwuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan taqwa. Sedangkan orang yg hanya menjalani tasawwuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik.

0 komentar:

Home Ads

Ceramah Inspiratif