Syekh Kholil al-Bangkalani

Agustus 09, 2017 rengo dez 0 Comments

Kholil al-Bangkalani



al-'Alim al-'Allamah asy-Syaikh Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkalani al-Maduri al-Jawi asy-Syafi'i atau lebih dikenal dengan nama Syaikhona Kholil atau Syekh Kholil (lahir di Kemayoran, Bangkalan, Bangkalan1820 – meninggal diMartajasah, Bangkalan, Bangkalan1925 pada umur antara 104 – 105 tahun) adalah seorang Ulama kharismatik dari Pulau MaduraProvinsi Jawa TimurIndonesia. Di masyarakat santri, Syaikhona Kholil juga dikenal sebagai Waliyullah. Seperti cerita Wali Songo, banyak cerita kelebihan di luar akal atau karamah Syekh Kholil terkisah dari lisan ke lisan, terutama di lingkungan masyarakat Madura.


Biografi

Syekh Kholil al-Bangkalani berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kiai Hamim, putra dari Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiai Asror Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman inilah yang merupakan cucu dari Sunan Gunung Jati dari pihak ibu.

Pada usia 24 tahun, Syekh Kholil menikahi Nyai Asyik, putri Lodra Putih.


Pendidikan



Syekh Kholil dididik dengan sangat ketat oleh ayahnya. Mbah Kholil kecil memiliki keistimewaan yang haus akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu. Bahkan ia sudah hafal dengan baik 1002 bait nadzam Alfiyah Ibnu Malik sejak usia muda.

Setelah dididik, orang tua Mbah Kholil kecil kemudian mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu. Mengawali pengembaraannya, Mbah Kholil muda belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan ia pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Pondok Pesantren Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surat Yasin.

Sewaktu menjadi santri, Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik. Disamping itu ia juga merupakan seorang Hafidz Al-Quran dan mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira'at Sab'ah.

Saat usianya mencapai 24 tahun setelah menikah, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Makkah. Utuk ongkos pelayaran bisa ia tutupi dari hasil tabungannya selama nyantri diBanyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukannya bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah agar perjalanannya selamat


Karya-karyanya


Al-Matnus Syarif

Sesuai namanya, kitab Al-Matnus Syarif al-Mulaqqab bi Fat-hil Latif ini merupakan kitab matan (inti) yang berbicara mengenai fundamen dasar hukum Islam (ilmu fiqih). Yang menarik dari kitab setebal 52 halaman ini, adalah bukan hanya karena kemasyhuran penulisnya, melainkan kitab ini telah menampilkan landscape keilmuan yang selama ini terkesan rumit, menjadi demikian lugas dan mudah difahami. [5]


Guru-gurunya

Syekh Kholil pernah berguru kepada beberapa ulama, di antaranya[6][7]:
K.H. Abdul Lathif (Ayahnya)
K.H. Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban
K.H. Nur Hasan di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan
Syekh Nawawi al-Bantani di Mekkah
Syekh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi
Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan di Mekkah
Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki di Mekkah
Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani di Mekkah


Murid-muridnya


Berikut merupakan murid-murid dari Syekh Kholil :
K.H. Muhammad Hasan Sepuh - pendiri Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo
K.H. Hasyim Asy’ari - pendiri Nahdlatul 'Ulama, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang
K.H. Abdul Wahab Hasbullah - pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang
K.H. Bisri Syansuri - pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang
K.H. Manaf Abdul Karim - pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri
K.H. Ma'sum - Lasem, Rembang
K.H. Munawir - pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta
K.H. Bisri Mustofa - pendiri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang
K.H. Nawawi - pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan
K.H. Ahmad Shiddiq - pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah, Jember
K.H. As'ad Syamsul Arifin - pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Asembagus, Situbondo
K.H. Abdul Majjid - Batabata, Pamekasan
K.H. Toha - pendiri Pondok Pesantren Batabata, Pamekasan
K.H. Abi Sujak - pendiri Pondok Pesantren Astatinggi, Kebunagung, Sumenep
K.H. Usymuni - pendiri Pondok Pesantren Pandian, Sumenep
K.H. Zaini Mun'im - Paiton, Probolinggo
K.H. Khozin - Buduran, Sidoarjo
K.H. Abdullah Mubarok - pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
K.H. Mustofa - pendiri Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan
K.H. Asy'ari - pendiri Pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari, Bondowoso
K.H. Sayyid Ali Bafaqih - pendiri Pondok Pesantren Loloan Barat, Bali
K.H. Ali Wafa - Tempurejo, Jember
K.H. Munajad - Kertosono, Nganjuk
K.H. Abdul Fatah - pendiri Pondok Pesantren Al-Fattah, Tulungagung
K.H. Zainul Abidin - Kraksaan, Probolinggo
K.H. Zainuddin - Nganjuk
K.H. Abdul Hadi - Lamongan
K.H. Zainur Rasyid - Kironggo, Bondowoso
K.H. Karimullah - pendiri Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso
K.H. Muhammad Thohir Jamaluddin - pendiri Pondok Pesantren Sumber Gayam, Madura
K.H. Hasan Mustofa - Garut
K.H. Raden Fakih Maskumambang - Gresik
Ir. Soekarno - Presiden Republik Indonesia pertama, menurut penuturan K.H. As'ad Samsul Arifin, Bung Karno meski tidak resmi sebagai murid Syekh Kholil, namun ketika sowan ke Bangkalan, Syekh Kholil memegang kepala Bung Karno dan meniup ubun-ubunya.


Cerita Syekh Kholil dengan Murid-muridnya


Kiai Ma'sum Lasem



Dalam buku Manaqib Mbah Ma’shum Lasem diceritakan bahwa suatu hari Syekh Kholil Bangkalan meminta santrinya untuk membuat kurungan ayam jago sebab akan datang jagoan dari tanah Jawa ke Bangkalan. Keesokan harinya datang seorang pemuda bernama Muhammadun (nama Mbah Ma’shum waktu muda) yang berusia 20 tahun dari tanah Jawa. Oleh Syekh Kholil, pemuda itu diminta masuk ke dalam kurungan ayam jago yang telah dibuat santrinya. Dengan penuh takzim pemuda itu pun masuk dan duduk berjongkok ke dalam kurungan ayam jago. Syekh Kholil kemudian berkata kepada santri-santrinya, "Inilah yang kumaksudkan sebagai ayam jago dari tanah Jawa yang kelak akan menjadi jagoan tanah Jawa."

Pada awal nyantri, Mbah Lasem malah disuruh mengajarkan Alfiyah kepada santri-santri Syekh Kholil di dalam kamar yang tidak ada penerangnya. Mbah Ma’shum hanya nyantri selama 3 bulan. Ketika hendak pulang, Mbah Kholil memanggilnya seraya mendoakannya dengan doa Sapu Jagad. Saat Mbah Ma’shum melangkah pergi beberapa meter, ia dipanggil kembali oleh Syekh Kholil lalu didoakan dengan doa yang sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.


Kiai Hasyim Asy'ari


Ketika awal nyantri, Hasyim Asy’ari muda disuruh naik ke atas pohon bambu, sementara Syekh Kholil terus mengawasi dari bawah sembari memberi isyarat agar terus naik dan tidak boleh turun sampai ke pucuk pohon bambu tersebut. Kiai Hasyim dengan takzim terus naik sesuai perintah gurunya. Begitu sampai di pucuk, Syekh Kholil mengisyaratkan agar Kiai Hasyim langsung loncat ke bawah. Tanpa pikir panjang Kiai Hasyim langsung meloncat dan selamat. Ternyata hal tersebut hanya ujian Kepatuhan seorang santri kepada Kiainya.

Sebagai murid, Kiai Hasyim tidak pernah mengeluh ketika disuruh apa pun oleh gurunya, termasuk ketika disuruh menggembalakan kambing dan sapi, mencari rumput dan membersihkan kandang. Ia menerima titah gurunya itu sebagai khidmat (dedikasi) kepada Sang Guru.

Selain itu, saat Syekh Kholil kehilangan cincin pemberian istrinya yang jatuh di kamar mandi, Kiai Hasyim memohon izin untuk mencarinya. Setelah diizinkan, sejurus kemudian beliau masuk ke septictank dan mengeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kiai Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan. Betapa senang sang guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya hingga terucap doa: "Aku rida padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu.


Kiai Wahab Hasbullah



Pada suatu hari di bulan Syawal, Syekh Kholil memanggil semua santri dan memerintahkan agar penjagaan pondok diperketat karena tidak lama lagi akan ada macan masuk ke pondok.

Sejak itu, setiap hari semua santri melakukan penjagaan yang ketat di pondok pesantren. Hal ini dilakukan karena di dekat pondok pesantren ada hutan rimba, sehingga khawatir jika ada macan muncul dari hutan tersebut.

Setelah beberapa hari ternyata macan yang ditunggu-tunggu tidak juga muncul. Pada minggu ketiga, Syekh Kholil memerintahkan para santri untuk berjaga ketika ada pemuda kurus, tidak terlalu tinggi dan membawa tas koper seng masuk ke komplek pondok pesantren.

Begitu sampai di depan rumah Syekh Kholil, pemuda itu mengucapkan salam. Mendengar salam pemuda tersebut, Syekh Kholil justru malah berteriak memanggil para santrinya“Hai santri-santri, macan! macan! Ayo kepung, jangan sampai masuk ke pondok.” Mendengar teriakan Syekh Kholil, serentak para santri berhamburan membawa apa saja yang bisa dibawa untuk mengusir pemuda tersebut. Para santri yang sudah membawa pedang, celurit, tongkat mengerubuti “macan” yang tidak lain adalah pemuda itu. Muka pemuda itu menjadi pucat pasi ketakutan. Karena tidak ada jalan lain, akhirnya pemuda tersebut lari meninggalakn komplek pondok.

Karena tingginya semangat untuk nyantri ke pondok yang diasuh oleh Syekh Kholil, keesokan harinya pemuda itu mencoba memasuki pesantren lagi. Meskipun begitu, dirinya tetap memperoleh perlakuan yang sama seperti sebelumnya. Karena rasa takut dan kelelahan akhirnya pemuda tersebut tidur di bawah kentongan yang ada di musala pesantren. Ketika tengah malam, dirinya dibangunkan dan dimarah-marahi oleh Syekh Kholil. Meski demikian, setelah itu dirinya diajak oleh Syekh Kholil ke rumahnya dan dinyatakan sebagai salah satu santri dari pondok yang beliau pimpin.

Sejak itu, pemuda tersebut resmi sebagai santri pondok. Pemuda yang dimaksud itu adalah Abdul Wahab Hasbullah yang menjadi salah satu pendiri NU. Ternyata apa yang diprediksi oleh Syekh Kholil menjadi kenyataan, Abdul Wahab Hasbullah benar-benar menjadi “Macan” NU.


Kiai As'ad

Ketika Kiai As’ad masih menjadi santri Syekh Kholil, ia pernah disuruh mengantarkan tongkat ke Kiai Hasyim Asy’ari di Jombang. Di lain hari ia disuruh mengantarkan tasbih kepada Kiai Hasyim juga. Syekh Kholil hanya memberikan bekal beberapa uang logam. Ketika Kiai As’ad naik bus atau kereta, bolak-balik kondektur tidak menagih tiket kepadanya, demikian pula ketika akan menyeberangi Selat Madura, seseorang tiba-tiba mengajaknya naik ke kapal bersamanya secara cuma-cuma. Setelah turun dari kapal, beliau kembali ditawari naik kendaraan ke Jombang, beliau menerima tawaran ini dengan rasa syukur. Kiai As’ad yakin hal ini karena doa dan barakah dari sang guru melalui uang logam yang diberikan Syekh Kholil.


Kiai Bahar Sidogiri



Pada suatu pagi, seorang santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah karena tidak bisa salat subuh berjamaah. Bahar absen salat jamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Pasalnya, semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar, sebab wanita itu adalah istri Syekh Kholil, gurunya.

Menjelang subuh, terdengar Syekh Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap, "Santri kurang ajar! santri kurang ajar!" Para santri yang sudah ke masjid untuk salat berjamaah merasa heran dan bertanya-tanya siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.

Subuh itu Bahar memang tidak ikut salat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid. Seusai salat subuh berjamaah, Syekh Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya, “Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?”. Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar.

Kemudian Syekh Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan, Bahar dibawa ke masjid. Syekh Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata, "Bahar, karena kamu tidak hadir salat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini". Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput. Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus walau kesulitan.

Setelah itu Syekh Kholil memerintahkan Bahar untuk memakan nasi yang ada di nampan sampai habis. Sekali lagi Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Syekh Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, ia lalu disuruh makan buah-buahan yang telah tersedia di nampan lain sampai habis.

Setelah itu Bahar diusir oleh Syekh Kholil seraya berucap dan menunjuk Bahar, "Hei santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini". Dengan perasaan senang dan mantap, Bahar pun pulang meninggalkan pesantren Syekh Kholil menuju kampung halamannya, hingga akhirnya ia menjadi pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri keenam.


Karamah


Ke Mekkah Naik Kerocok

Suatu sore di pinggir pantai daerah Bangkalan, Syekh Kholil ditemani oleh Kiai Syamsul Arifin ayahanda dari Kiai As’ad Situbondo. Bersama sahabatnya itu, mereka berbincang-bincang tentang pengembangan pesantren dan persoalan umat Islam di daerah Pulau Jawa dan Madura. Persoalan demi persoalan dibicarakan, tak terasa saking asyik berdiskusi matahari hampir terbenam. Padahal mereka belum melaksanakan shalat Asar, sementara waktunya hampir habis sehingga tidak mungkin melaksanakan shalat asar dengan sempurna dan khusyuk. Akhirnya Syekh Kholil memerintah Kiai Syamsul Arifin untuk mengambil kerocok (sejenis daun aren yang dapat mengapung di atas air) untuk dipakai perjalanan menuju Makkah. Setelah mendapatkan kerocok, lantas Syekh Kholil menatap ke arah Makkah, tiba-tiba kerocok yang ditumpanginya berjalan dengan cepat menuju Makkah. Sesampainya di Makkah, azan asar baru saja dukumandangkan. Setelah mengambil wudlu, Syekh Kholil dan Kiai Syamsul Arifin segera menuju shaf pertama untuk melaksanakan shalat asar berjamaah di Masjidil Haram.

Mengobati Anak Pecandu Gula


Dikisahkan oleh K.H. Abdullah Syamsul Arifin, ketua PCNU Jember, terdapat seorang warga yang mempunyai anak dengan kelainan hobi mengonsumsi gula berlebih, bahkan setiap hari anak tersebut bisa menghabiskan sekian kilo gula pasir. Akhirnya ayah anak itu nyabis (sowan) ke Syekh Kholil Bangkalan. Di hadapan Syekh Kholil ia mengeluh soal kebiasaan anaknya menyantap gula. Ia berharap agar sang Syekh berkenan menyembuhkan penyakit yang mendera anaknya. Namun Syekh Kholil malah menjawab permohonan si ayah dengan menyuruhnya datang kembali satu minggu kemudian. Tamu tersebut pamit, namun sejak saat itu kebiasaan si anak semakin menjadi-jadi dan semakin banyak gula yang dihabiskan setiap hari, dimakan begitu saja. Sang ayah tetap memenuhi perintah Syekh Kholil untuk datang kembali ke rumahnya seminggu kemudian. Setelah pertemuan yang kedua, anak tersebut berhenti total mengonsumsi gula.
Konon, selama seminggu Syekh Kholil bertirakat. Tidak makan makanan atau minuman yang berbahan gula pasir. Pesannya sederhana, jika ingin menyuruh sesuatu maka harus mengerjakannya dulu. Kalau ingin melarang sesuatu terhadap orang lain maka yang bersangkutan dahulu yang wajib memberi contoh jika ingin larangannya dipatuh

Tertawa Keras saat Salat

Pada suatu hari, saat salat jamaah yang dipimpin oleh seorang kiai di sebuah pesantren tempat Syekh Kholil muda mencari ilmu, ia tertawa cukup keras. Setelah selesai salat sang kiai menegur Syekh Kholil muda atas sikapnya tersebut yang memang dilarang dalam Islam. Ternyata Syekh Kholil muda masih terus tertawa meskipun kiai sangat marah terhadapnya. Akhirnya ia menjawab hal yang menyebabkannya tertawa keras, bahwa ketika salat berjamaah berlangsung dia melihat sebuah "berkat" (makanan yang dibawa pulang sehabis kenduri) di atas kepala sang Kiai. Mendengar jawaban tersebut sang kiai sadar dan malu atas salat yang dipimpinnya. Karena sang kiai ingat bahwa selama salat berlangsung dia merasa tergesa-gesa untuk menghadiri kenduri yang mengakibatkan salatnya tidak khusyuk.


Ditangkap lalu Dibebaskan oleh Belanda

Syekh Kholil pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat perlawanan terhadap kolonial di pondok pesantrennya. Ketika Belanda mengetahuinya, Syekh Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi ditangkapnya Syekh Kholil, malah membuat pihak Belanda pusing dan kewalahan; karena terjadi hal-hal yang tidak bisa mereka mengerti. Seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri. Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Syekh Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Syekh Kholil untuk dibebaskan.

0 komentar:

Semangat Nasionalisme Seorang Kyai (Syekh AL Bantani)

Agustus 09, 2017 rengo dez 0 Comments

Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi sangat kesohor. Disebut al-Bantani karena ia berasal dari Banten, Indonesia. Beliau bukan ulama biasa, tapi memiliki intelektual yang sangat produktif menulis kitab, meliputi Fiqih, Tauhid, Tasawuf, Tafsir, dan Hadits. Jumlahnya tidak kurang dari 115 kitab.



Tokoh Nasionalisme

Kelahiran dan Pendidikan
Lahir dengan nama Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi. Ulama besar ini hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat. Ulama yang lahir di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Sekarang di Kampung Pesisir, desa Pedaleman Kecamatan Tanara depan Mesjid Jami’ Syaikh Nawawi Bantani) pada tahun 1230 H atau 1813 M ini bernasab kepada keturunan Maulana Hasanuddin Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-11 dari Sultan Banten. Nasab beliau melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi Muhammad saw. Melalui keturunan Maulana Hasanuddin yakni Pangeran Suniararas, yang makamnya hanya berjarak 500 meter dari bekas kediaman beliau di Tanara, nasab Ahlul Bait sampai ke Syaikh Nawawi. Ayah beliau seorang Ulama Banten, ‘Umar bin ‘Arabi, ibunya bernama Zubaedah.
Pendidikan
Semenjak kecil beliau memang terkenal cerdas. Otaknya dengan mudah menyerap pelajaran yang telah diberikan ayahnya sejak umur 5 tahun. Pertanyaanpertanyaan kritisnya sering membuat ayahnya bingung. Melihat potensi yang begitu besar pada putranya, pada usia 8 tahun sang ayah mengirimkannya keberbagai pesantren di Jawa. Beliau mula-mula mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, kemudian berguru kapada Kyai Sahal, Banten; setelah itu mengaji kepada Kyai Yusuf, Purwakarta.[1]
Di usia beliau yang belum lagi mencapai 15 tahun, Syaikh Nawawi telah mengajar banyak orang. Sampai kemudian karena karamahnya yang telah mengkilap sebelia itu, beliau mencari tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah banyak. Pada usia 15 tahun beliau menunaikan haji dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal di Mekah, seperti Syaikh Khâtib al-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, ‘Abdul Hamîd Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib Hambali, dan Syaikh Junaid Al-Betawi. Tapi guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyati, ulama terkemuka di Mekah. Lewat ketiga Syaikh inilah karakter beliau terbentuk. Selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam pikirannya, yaitu Syaikh Muhammad Khâtib dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, ulama besar di Medinah.
Nasionalisme dan Gelar-Gelar
Tiga tahun bermukim di Mekah, beliau pulang ke Banten. Sampai di tanah air beliau menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penindasan dari Pemerintah Hindia Belanda. Ia melihat itu semua lantaran kebodohan yang masih menyelimuti umat. Tak ayal, gelora jihadpun berkobar. Beliau keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Tentu saja Pemerintah Belanda membatasi gara-geriknya. Beliau dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan belakangan beliau dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu memang sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825- 1830 M).
Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, apa boleh buat Syaikh Nawawi terpaksa menyingkir ke Negeri Mekah, tepat ketika perlawanan Pangeran Diponegoro padam pada tahun 1830 M. Ulama Besar ini di masa mudanya juga menularkan semangat Nasionalisme dan Patriotisme di kalangan Rakyat Indonesia. Begitulah pengakuan Snouck Hourgronje. Begitu sampai di Mekah beliau segera kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya. Beliau tekun belajar selama 30 tahun, sejak tahun 1830 hingga 1860 M. Ketika itu memang beliau berketepatan hati untuk mukim di tanah suci, satu dan lain hal untuk menghindari tekanan kaum penjajah Belanda. Nama beliau mulai masyhur ketika menetap di Syi’ib ‘Ali, Mekah. Beliau mengajar di halaman rumahnya. Mula-mula muridnya cuma puluhan, tapi makin lama makin jumlahnya kian banyak. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Maka jadilah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi sebagai ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama, terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.
Nama beliau semakin melejit ketika beliau ditunjuk sebagai pengganti Imam Masjidil Haram, Syaikh Khâtib al-Minagkabawi. Sejak itulah beliau dikenal dengan nama resmi ‘Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi.’ Artinya Nawawi dari Banten, Jawa. Piawai dalam ilmu agama, masyhur sebagai ulama. Tidak hanya di kota Mekah dan Medinah saja beliau dikenal, bahkan di negeri Mesir nama beliau masyhur di sana. Itulah sebabnya ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Mesir negara yang pertama-tama mendukung atas kemerdekaan Indonesia.[2]
Syaikh Nawawi masih tetap mengobarkan nasionalisme dan patriotisme di kalangan para muridnya yang biasa berkumpul di perkampungan Jawa di Mekah.Di sanalah beliau menyampaikan perlawanannya lewat pemikiran-pemikirannya. Kegiatan ini tentu saja membuat pemerintah Hindia Belanda berang. Tak ayal, Belandapun mengutus Snouck Hourgronje ke Mekah untuk menemui beliau.
Ketika Snouck–yang kala itu menyamar sebagai orang Arab dengan nama ‘Abdul Ghafûr-bertanya:
“Mengapa beliau tidak mengajar di Masjidil Haram tapi di perkampungan Jawa?”.
Dengan lembut Syaikh Nawawi menjawab:
“Pakaianku yang jelek dan kepribadianku tidak cocok dan tidak pantas dengan keilmuan seorang professor berbangsa Arab”.
Lalu kata Snouck lagi:
”Bukankah banyak orang yang tidak sepakar seperti anda akan tetapi juga mengajar di sana?”.
Syaikh Nawawi menjawab :
“Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa”.
Dari beberapa pertemuan dengan Syaikh Nawawi, Orientalis Belanda itu mengambil beberapa kesimpulan. Menurutnya, Syaikh Nawawi adalah Ulama yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia berkorban demi kepentingan agama dan bangsa. Banyak murid-muridnya yang di belakang hari menjadi ulama, misalnya K.H. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdhatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tb. Bakrie Purwakarta, K.H. Arsyad Thawil, dan lain-lainnya.
Konon, K.H. Hasyim Asy’ari saat mengajar santri-santrinya di Pesantren Tebu Ireng sering menangis jika membaca kitab fiqih Fath al-Qarîb yang dikarang oleh Syaikh Nawawi. Kenangan terhadap gurunya itu amat mendalam di hati K.H. Hasyim Asy’ari hingga haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath al-Qarib ia ajarkan pada santri-santrinya.
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Banten dan dikaruniai 3 anak: Nafisah, Maryam, Rubi’ah. Sang istri wafat mendahului beliau.[3]
Gelar-Gelar
Berkat kepakarannya, beliau mendapat bermacam-macam gelar. Di antaranya yang diberikan oleh Snouck Hourgronje, yang menggelarinya sebagai Doktor Ketuhanan. Kalangan Intelektual masa itu juga menggelarinya sebagai al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam). Syaikh Nawawi bahkan juga mendapat gelar yang luar biasa sebagaia al-Sayyid al-‘Ulama al-Hijâz (Tokoh Ulama Hijaz). Yang dimaksud dengan Hijaz ialah Jazirah Arab yang sekarang ini disebut Saudi Arabia. Sementara para Ulama Indonesia menggelarinya sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia.
Karya-Karya dan Karamah
Kepakaran beliau tidak diragukan lagi. Ulama asal Mesir, Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbâr dalam kitabnya “al-Durûs min Mâdhi al-Ta’lîm wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Harâm” (beberapa kajian masa lalu dan masa kini tentang Pendidikan Masa kini di Masjidil Haram) menulis bahwa Syaikh Nawawi sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai seratus judul lebih, meliputi berbagai disiplin ilmu. Banyak pula karyanya yang berupa syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik. Sebagian dari karya-karya Syaikh Nawawi di antaranya adalah sebagai berikut:
1. al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah
2. al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
3. Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
4. BaÄ¥jah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
5. al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
6. Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi MuÄ¥immâh al-Dîn
7. Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
8. Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
9. Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
10. Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
11. al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
12. Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
13. Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah
14. Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
15. Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
16. Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
17. Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
18. Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm
19. Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
20. Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
21. Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
22. Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
23. Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
24. al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-ÃŽmâniyyah
25. ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
26. Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
27. Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
28. al-NaÄ¥jah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
29. Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah
30. Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
31. al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
32. al-Riyâdl al-Fauliyyah
33. Mishbâh al-Dhalâm’ala MinÄ¥aj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
34. Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
35. al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
36. Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
37. al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
38. Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.[4]
Karya tafsirnya, al-Munîr, sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsîr Jalâlain, karya Imâm Jalâluddîn al-Suyûthi dan Imâm Jalâluddîn al-Mahâlli yang sangat terkenal itu. Sementara Kâsyifah al-Sajâ syarah merupakan syarah atau komentar terhadap kitab fiqih Safînah al-Najâ, karya Syaikh Sâlim bin Sumeir al-Hadhramy. Para pakar menyebut karya beliau lebih praktis ketimbang matan yang dikomentarinya. Karya-karya beliau di bidang Ilmu Akidah misalnya Tîjân al-Darâry, Nûr al-Dhalam, Fath al-Majîd. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih al-Qaul. Karya-karya beliau di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munâjah, Niĥâyah al-Zain, Kâsyifah al-Sajâ. Adapun Qâmi’u al-Thugyân, Nashâih al-‘Ibâd dan Minhâj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf. Ada lagi sebuah kitab fiqih karya beliau yang sangat terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa, yaitu Syarah ’Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain. Hampir semua pesantren memasukkan kitab ini dalam daftar paket bacaan wajib, terutama di Bulan Ramadhan. Isinya tentang segala persoalan keluarga yang ditulis secara detail. Hubungan antara suami dan istri dijelaskan secara rinci. Kitab yang sangat terkenal ini menjadi rujukan selama hampir seabad. Tapi kini, seabad kemudian kitab tersebut dikritik dan digugat, terutama oleh kalangan muslimah. Mereka menilai kandungan kitab tersebut sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan masa kini. Tradisi syarah atau komentar bahkan kritik mengkritik terhadap karya beliau, tentulah tidak mengurangi kualitas kepakaran dan intelektual beliau.[5]
Karamah
Konon, pada suatu waktu pernah beliau mengarang kitab dengan menggunakan telunjuk beliau sebagai lampu, saat itu dalam sebuah perjalanan. Karena tidak ada cahaya dalam syuqduf yakni rumah-rumahan di punggung unta, yang beliau diami, sementara aspirasi tengah kencang mengisi kepalanya. Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu menerangi jari kanannya yang untuk menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidayah itu harus dibayar beliau dengan cacat pada jari telunjuk kirinya. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri beliau itu membawa bekas yang tidak hilang. Karamah beliau yang lain juga diperlihatkannya di saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni Masjid Pekojan. Masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah saw Sayyid Utsmân bin ‘Agîl bin Yahya al-‘Alawi, Ulama dan Mufti Betawi (sekarang ibukota Jakarta),[6] itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsmân sendiri.
Tak ayal , saat seorang anak remaja yang tak dikenalnya menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsmân. Diskusipun terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid Utsmân tetap berpendirian kiblat Mesjid Pekojan sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat mesti dibetulkan. Saat kesepakatan tak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras, Syaikh Nawawi remaja menarik lengan baju lengan Sayyid Utsmân. Dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat.
“Lihatlah Sayyid!, itulah Ka΄bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Ka΄bah itu terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak kekiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke Ka΄bah”. Ujar Syaikh Nawawi remaja. ”
Sayyid Utsmân termangu. Ka΄bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi remaja memang terlihat jelas. Sayyid Utsmân merasa takjub dan menyadari , remaja yang bertubuh kecil di hadapannya ini telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karamah itu, di manapun beliau berada Ka΄bah tetap terlihat. Dengan penuh hormat, Sayyid Utsmân langsung memeluk tubuh kecil beliau. Sampai saat ini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai aslinya.[7]
Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota. Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.
Terang saja kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di Ma΄la, Mekah.
Demikianlah karamah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Tanah organisme yang hidup di dalamnya sedikitpun tidak merusak jasad beliau. Kasih sayang Allah Ta’ala berlimpah pada beliau. Karamah Syaikh Nawawi yang paling tinggi akan kita rasakan saat kita membuka lembar demi lembar Tafsîr Munîr yang beliau karang. Kitab Tafsir fenomenal ini menerangi jalan siapa saja yang ingin memahami Firman Allah swt. Begitu juga dari kalimat-kalimat lugas kitab fiqih, Kâsyifah al-Sajâ, yang menerangkan syariat. Begitu pula ratusan hikmah di dalam kitab Nashâih al-‘Ibâd. Serta ratusan kitab lainnya yang akan terus menyirami umat dengan cahaya abadi dari buah tangan beliau.[8]
Wafat
Masa selama 69 tahun mengabdikan dirinya sebagai guru Umat Islam telah memberikan pandangan-pandangan cemerlang atas berbagai masalah umat Islam. Syaikh Nawawi wafat di Mekah pada tanggal 25 syawal 1314 H/ 1897 M. Tapi ada pula yang mencatat tahun wafatnya pada tahun 1316 H/ 1899 M. Makamnya terletak di pekuburan Ma’la di Mekah. Makam beliau bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar al-Siddiq, Asma΄ binti Abû Bakar al-Siddîq.[9]
Referensi
1. ^ Nurul Huda, Sekilas tentang: Kiai Muhammad Nawawi al-Bantani, Alkisah, No.4, 14 September 2003 M, h. 2.
2. ^ Salmah, dkk, Perjalanan 3 Wanita, (Jakarta: Trans TV, pukul 06:30-07:00), Selasa, 10 Juli 2007 M.
3. ^ Kisah Wali, Alkisah, No.3, 02-15 februari 2004 M, h. 100.
4. ^ Kiai Muhammad Syafi’i Hadzami, Majmu’ah Tsalâtsa Kutub Mufîdah, (Jakarta, Maktabah al- Arba’in, 2006 M/1427 H), h. J.
5. ^ Nurul Huda, Sekilas tentang, h. 7.
6. ^ Habib ‘Utsman bin ‘Aqil bin ‘Umar bin Yahya dilahirkan di Pekojan, Jakarta pada tanggal 17 Rabi’ul Awwal 1238 H/ 1822 M. Ibunya bernama Aminah binti Syaikh ‘Abdurrahman bin Ahmad al-Mishri, putri seorang ulama dari Mesir. Habib ‘Utsman bermukim di Makkah selama 7 tahun. Guru-guru beliau di antaranya ayahnya sendiri, Habib ‘Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya dan seorang Mufti Syafi’iyyah di Makkah, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Pada tahun 1848 beliau berangkat ke Hadramaut menuntut ilmu kepada sayyid ‘Alwi bin Saggaf al-Jufri dan Sayyid Hasan bin Shaleh al-Bahr. Dari Hadramaut berangkat lagi ke Mesir dan belajar di Kairo selama 8 bulan. Perjalanan menuntut ilmu dilanjutkan lagi ke Tunis, Aljazair, Istanbul, Persia dan Syria. Setelah itu beliau kembali lagi ke Hadramaut. Habib ‘Utsman adalah pengarang kitab yang sangat produktif. Hal ini dikemukakan oleh L.W.C Van Den Berg (1845-1927) di dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Hadramaut dan koloni Arab di Indonesia (1989). Ia telah mencatat bahwa Habib ‘Utsman memiliki 38 karya, 11 buah karyanya ditulis dalam Bahasa Arab, sedang sisanya disusun dalam Bahasa Melayu. Buku tersebut diterbitkan di Betawi pada tahun 1886 M, ketika itu Habib ‘Utsman masih hidup dan masih terus menghasilkan karya-karyanya. Beliau pada tahun 1862 M/ 1279 H selepas dari hadramaut pulang ke Betawi dan menetap di Pekojan. Kemudian diangkat menjadi Mufti Betawi menggantikan Syaikh Abdul Ghani. Hingga wafat pada tahun 1331 H/ 1913 M. “Sekilas tentan Habib ‘Utsman”, Alkisah, No. 3, 02-15 februari 2004 M, h. 108.
7. ^ Kisah Wali, Alkisah, h. 103.
8. ^ Syekh Nawawi Bantani: Mulianya jasad sang wali, Alkisah, No. 3, 02-15 Februari 2004 M, h. 105.
9. ^Nurul Huda, Sekilas tentang, h. 5
Nassab Silsilah keturunan Syeikh Nawawi dari ayahnya adalah:
Imam Nawawi
bin Kiai Umar,
bin Kiai Arabi
bin Kiai Ali
bin Kiai Jamad
bin Janta
bin Kiai Masbugil
bin Kiai Masqun
bin Kiai Masnun
bin Kiai Maswi
bin Kiai Tajul Arusy Tanara
bin Maulana Hasanudin Banten
bin Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon
bin Raja Amatuddin Abdullah
bin Ali Nuruddin
bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain
bin Imam Syayid Ahmad Syah Jalal
bin Abdullah Adzmah Khan
bin Amir Abdullah Malik
bin Sayyid Alwi
bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath
bin Sayyid Ali Khali’ Qasim
bin Sayyid Alwi Imam Ubaidillah
bin Imam Ahmad Muhajir Ilallahi
bin Imam Isa an-Naqib
bin Imam Muhammad Naqib
bin Imam Ali Aridhi
bin Imam Ja’far ash-Shadiq
bin Imam Muhammad al-Baqir
bin Imam Ali Zainal Abidin
bin Sayyidina Husain ra
bin Sayyidatina Fathimah Zahrah binti Muhammad SAW.
silsilah keturunan pihak ibunya adalah bahwa Syaikh Nawawi bin Nyi Zubaidah binti Muhammad Singaraja.

0 komentar:

Mengenal 4 Madzhab dalam Islam

Agustus 09, 2017 rengo dez 0 Comments



Ahlussunnah wal Jama’ah berhaluan salah satu Madzhab yang empat. Seluruh ummat Islam di dunia dan para ulamanya telah mengakui bahwa Imam yang empat ialah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hambal telah memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid. Hal itu dikarenakan ilmu, amal dan akhlaq yang dimiliki oleh mereka. Maka ahli fiqih memfatwakan bagi umat Islam wajib mengikuti salah satu madzhab yang empat tersebut


Madzhab Hanafi
Dinamakan Hanafi, karena pendirinya Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit. Beliau lahir pada tahun 80 H di Kufah dan wafat pada tahun 150 H. Madzhab ini dikenal madzhab Ahli Qiyas (akal) karena hadits yang sampai ke Irak sedikit, sehingga beliau banyak mempergunakan Qiyas.
Beliau termasuk ulama yang cerdas, pengasih dan ahli tahajud dan fasih membaca Al-Qur’an. Beliau ditawari untuk menjadi hakim pada zaman bani Umayyah yang terakhir, tetapi beliau menolak.
Madzhab ini berkembang karena menjadi madzhab pemerintah pada saat Khalifah Harun Al-Rasyid. Kemudian pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur beliau diminta kembali untuk menjadi Hakim tetapi beliau menolak, dan memilih hidup berdagang, madzhab ini lahir di Kufah.
Madzhab Maliki
Pendirinya adalah Al-Imam Maliki bin Anas Al-Ashbahy. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Beliau sebagai ahli hadits di Madinah dimana Rasulullah SAW hidup di kota tersebut.
Madzhab ini dikenal dengan madzhab Ahli Hadits, bahkan beliau mengutamakan perbuatan ahli Madinah daripada Khabaril Wahid (Hadits yang diriwayatkan oleh perorangan). Karena bagi beliau mustahil ahli Madinah akan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan Rasul, beliau lebih banyak menitikberatkan kepada hadits, karena menurut beliau perbuatan ahli Madinah termasuk hadits mutawatir.
Madzhab ini lahir di Madinah kemudian berkembang ke negara lain khususnya Maroko. Beliau sangat hormat kepada Rasulullah dan cinta, sehingga beliau tidak pernah naik unta di kota Madinah karena hormat kepada makam Rasul.

Madzhab Syafi’i
Tokoh utamanya adalah Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghuzzah pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H.
Beliau belajar kepada Imam Malik yang dikenal dengan madzhabul hadits, kemudian beliau pergi ke Irak dan belajar dari ulama Irak yang dikenal sebagai madzhabul qiyas. Beliau berikhtiar menyatukan madzhab terpadu yaitu madzhab hadits dan madzhab qiyas. Itulah keistimewaan madzhab Syafi’i.
Di antara kelebihan asy-Syafi’i adalah beliau hafal Al-Qur’an umur 7 tahun, pandai diskusi dan selalu menonjol. Madzhab ini lahir di Mesir kemudian berkembang ke negeri-negeri lain.

Madzhab Hanbali
Dinamakan Hanbali, karena pendirinya Al-Imam Ahmad bin Hanbal As-Syaebani, lahir di Baghdad Th 164 H dan wafat Th 248 H. Beliau adalah murid Imam Syafi’i yang paling istimewa dan tidak pernah pisah sampai Imam Syafi’i pergi ke Mesir.
Menurut beliau hadits dla’if dapat dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan yang afdal (fadlailul a'mal) bukan untuk menentukan hukum. Beliau tidak mengaku adanya Ijma’ setelah sahabat karena ulama sangat banyak dan tersebar luas.

0 komentar:

Imam Hanbali

Agustus 09, 2017 rengo dez 0 Comments

Ahmad bin Hanbal



Ahmad bin Hanbal (780 - 855 M, 164 - 241 AH)[1] (Arab أحمد بن حنبل‏‏ ) adalah seorang ahli hadits dan teologi Islam. Ia lahir di Marw (saat ini bernama Mary di Turkmenistan, utara Afganistan dan utara Iran) di kota Baghdad, Irak. Kunyahnya Abu Abdillah lengkapnya:Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi/ Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dikenal juga sebagai Imam Hambali.

Biografi

Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur'an hingga ia hafal pada usia 15 tahun, ia juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu, ia mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula.

Ia telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini, ia pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria), Hijaz, Yaman dan negara-negara lainnya sehingga ia akhirnya menjadi tokoh ulama yang bertakwa, saleh, dan zuhud. Abu Zur'ah mengatakan bahwa kitabnya yang sebanyak 12 buah sudah dihafalnya di luar kepala. Ia menghafal sampai sejuta hadits. Imam Syafi'i mengatakan tentang diri Imam Ahmad, "Setelah saya keluar dari Baghdad, tidak ada orang yang saya tinggalkan di sana yang lebih terpuji, lebih shaleh dan yang lebih berilmu daripada Ahmad bin Hambal". Abdur Rozzaq Bin Hammam yang juga salah seorang guru dia pernah berkata, "Saya tidak pernah melihat orang se-faqih dan se-wara' Ahmad Bin Hanbal"[2]

Keadaan fisik

Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi bercerita, Saya pernah melihat Imam Ahmad bin Hambal, ternyata Badan dia tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, wajahnya tampan, di jenggotnya masih ada yang hitam. Ia senang berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban serta memakai kain. Yang lain mengatakan, “Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)”


Keluarga

Dia menikah pada umur 40 tahun dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Ia melahirkan dari istri-istrinya anak-anak yang shalih, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan Shalih. Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya.


Kecerdasan


Putranya yang bernama Shalih mengatakan, ayahku pernah bercerita, “Husyaim meninggal dunia saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar darinya”.
Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku, “Ambillah kitab mushannaf Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu mau tentang matan nanti kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti kuberitahu matannya”.
Abu Zur’ah pernah ditanya, “Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat hafalannya? Anda atau Imam Ahmad bin Hambal?” Dia menjawab, “Ahmad”. Ia masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu?” dia menjawab, “Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi, karena dia hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan, “Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits”.

Pujian Ulama


Abu Ja’far berkata, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahnya kepadanya. Ia sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya.”
Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”.
Ibrahim Al Harbi berkata, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.
Abdullah bin al-Maimuni berkata, "Tidak ada yang lebih mulia yang pernah dilihat oleh mataku, selain Imam Ahmad bin Hambal. Tidak ada seorangpun dari ahli hadits yang paling mengagungkan larangan-larangan Allah dan Sunnah Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam jika benar menurutnya, dan tidak ada seseorangpun yang lebih kuat dalam mengikutinya selain dari Ahmad."
Abu Bakar as-Sijistani berkata, "Aku pernah bertemu dengan 200 guru-guru ilmu, tidak ada satupun yang menyerupai Imam Ahmad bin Hambal. Dia betul-betul menyelami ilmu, dan jika disebutkan suatu ilmu, dia ahlinya."
Abdul Wahhab Al-Warraq berkata, "Abu Abdullah adalah pemimpin kami, dia adalah orang yang matang dalam ilmu. Jika aku berada dihadapan Allah kelak, dan aku ditanya, "Siapa orang yang kamu ikuti?" aku akan katakan, "Aku mengikuti Ahmad bin Hambal." Sungguh Imam Ahmad bin Hambal telah teruji keilmuannya selama 10 tahun tentang Islam."

Kezuhudannya

Dia memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang dia keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang juga dia pergi ke warung membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah berujar, “Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”.


Wara’ dan menjaga harga diri

Abu Isma’il At-Tirmidzi mengatakan, “Datang seorang lelaki membawa uang sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk dia, namun dia menolaknya”. Ada juga yang mengatakan, “Ada seseorang memberikan lima ratus dinar kepada Imam Ahmad namun dia tidak mau menerimanya”. Juga pernah ada yang memberi tiga ribu dinar, namun dia juga tidak mau menerimanya.


Tawadhu’ dengan kebaikannya


Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada kami”.
Dia (Imam Ahmad) mengatakan, “Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”.
Al Marrudzi berkata, “Saya belum pernah melihat orang fakir di suatu majlis yang lebih mulia kecuali di majlis Imam Ahmad, dia perhatian terhadap orang fakir dan agak kurang perhatiannya terhadap ahli dunia (orang kaya), dia bijak dan tidak tergesa-gesa terhadap orang fakir. Ia sangat rendah hati, begitu tinggi ketenangannya dan sangat memuka kharismanya”.
Dia pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam?” dia mengatakan, “Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”

Sabar dalam menuntut ilmu

Tatkala dia pulang dari tempat Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada seseorang yang melihatnya di Makkah dalam keadaan sangat letih dan capai. Lalu ia mengajak bicara, maka Imam Ahmad mengatakan, “Ini lebih ringan dibandingkan faidah yang saya dapatkan dari Abdurrazzaq”.


Hati-hati dalam berfatwa

Zakariya bin Yahya pernah bertanya kepada dia, “Berapa hadits yang harus dikuasai oleh seseorang hingga bisa menjadi mufti? Apakah cukup seratus ribu hadits? Dia menjawab, “Tidak cukup”. Hingga akhirnya ia berkata, “Apakah cukup lima ratus ribu hadits?” dia menjawab. “Saya harap demikian”.


Kelurusan aqidahnya sebagai standar kebenaran

Ahmad bin Ibrahim Ad-Dauruqi mengatakan, “Siapa saja yang kamu ketahui mencela Imam Ahmad maka ragukanlah agamanya”. Sufyan bin Waki’ juga berkata, “Ahmad di sisi kami adalah cobaan, barangsiapa mencela dia maka dia adalah orang fasik”.


Masa Fitnah


Pemahaman Jahmiyyah belum berani terang-terangan pada masa khilafah Al Mahdi, Ar-Rasyid dan Al Amin, bahkan Ar-Rasyid pernah mengancam akan membunuh Bisyr bin Ghiyats Al Marisi yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq. Namun dia terus bersembunyi pada masa khilafah Ar-Rasyid, baru setelah dia wafat, dia menampakkan kebid’ahannya dan menyeru manusia kepada kesesatan ini.
Pada masa Khalifah Al Ma’mun, orang-orang Jahmiyyah berhasil menjadikan paham Jahmiyyah sebagai ajaran resmi negara, di antara ajarannya adalah menyatakan bahwa Al Qur’an makhluk. Lalu penguasa pun memaksa seluruh rakyatnya untuk mengatakan bahwa Al Qur’an makhluk, terutama para ulamanya.
Barangsiapa mau menuruti dan tunduk kepada ajaran ini, maka dia selamat dari siksaan dan penderitaan. Bagi yang menolak dan bersikukuh dengan mengatakan bahwa Al Qur’an Kalamullah bukan makhluk maka dia akan mencicipi cambukan dan pukulan serta kurungan penjara.
Karena beratnya siksaan dan parahnya penderitaan banyak ulama yang tidak kuat menahannya yang akhirnya mengucapkan apa yang dituntut oleh penguasa zhalim meski cuma dalam lisan saja. Banyak yang membisiki Imam Ahmad bin Hambal untuk menyembunyikan keyakinannya agar selamat dari segala siksaan dan penderitaan, namun dia menjawab, “Bagaimana kalian menyikapi hadits “Sesungguhnya orang-orang sebelum Khabbab, yaitu sabda Nabi Muhammad ada yang digergaji kepalanya namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya”. HR. Bukhari 12/281. lalu dia menegaskan, “Saya tidak peduli dengan kurungan penjara, penjara dan rumahku sama saja”.
Ketegaran dan ketabahan dia dalam menghadapi cobaan yang menderanya digambarkan oleh Ishaq bin Ibrahim, “Saya belum pernah melihat seorang yang masuk ke penguasa lebih tegar dari Imam Ahmad bin Hambal, kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat”.
Di saat menghadapi terpaan fitnah yang sangat dahsyat dan deraan siksaan yang luar biasa, dia masih berpikir jernih dan tidak emosi, tetap mengambil pelajaran meski datang dari orang yang lebih rendah ilmunya. Ia mengatakan, “Semenjak terjadinya fitnah saya belum pernah mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh seorang Arab Badui kepadaku, “Wahai Ahmad, jika anda terbunuh karena kebenaran maka anda mati syahid, dan jika anda selamat maka anda hidup mulia”. Maka hatiku bertambah kuat”.

Ahli hadits sekaligus juga Ahli Fiqih


Ibnu ‘Aqil berkata, “Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari orang-orang bodoh yang mengatakan, “Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi hanya ahli hadits saja. Ini adalah puncaknya kebodohan, karena Imam Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang didasarkan pada hadits yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan dia lebih unggul dari seniornya”.
Bahkan Imam Adz-Dzahabi berkata, “Demi Allah, dia dalam fiqih sampai derajat Laits, Malik dan Asy-Syafi’i serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan wara’ dia menyamai Fudhail dan Ibrahim bin Adham, dalam hafalan dia setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia mengetahui kadar orang lain!!

Akhir Hayat


Imam Ahmad bin Hambal mulai sakit pada malam Rabu, dua hari dari bulan Rabi'ul Awwal tahun 241 Hijriyyah, ia sakit selama sembilan hari. Tatkala penyakitnya mulai parah dan warga sekitar mulai mengetahuinya, maka mereka menjenguknya siang dan malam.
Penyakitnya kian hari kian parah, pada hari Kamis dan sebelum wafat ia memberikan isyarat pada keluarganya agar ia diwudhukan, kemudian mereka pun mewudhukannya. Ketika berwudhu, Imam Ahmad sambil berzikir dan memberikan isyarat kepada mereka agar menyela-nyela jarinya. Dia menghembuskan napas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal 12 Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun di kota Baghdad. Ia dimakamkan di pemakaman al-Harb, jenazah dia dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.

Karya tulis

Ahmad bin Hanbal menulis kitab al-Musnad al-Kabir yang termasuk sebesar-besarnya kitab "Musnad" dan sebaik baik karangan dia dan sebaik baik penelitian Hadits. Ia tidak memasukkan dalam kitabnya selain yang dibutuhkan sebagai hujjah. Kitab Musnad ini berisi lebih dari 25.000 hadits.

Di antara karya Imam Ahmad adalah ensiklopedia hadits atau Musnad, disusun oleh anaknya dari ceramah (kajian-kajian) - kumpulan lebih dari 40 ribu hadits juga Kitab ash-Salat dan Kitab as-Sunnah.


Karya-Karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah


  1. Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
  2. Kitab at-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini telah hilang”.
  3. Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh
  4. Kitab at-Tarikh
  5. Kitab Hadits Syu'bah
  6. Kitab al-Muqaddam wa al-Mu'akkhar fi al-Qur`an
  7. Kitab Jawabah al-Qur`an
  8. Kitab al-Manasik al-Kabir
  9. Kitab al-Manasik as-Saghir

0 komentar:

Home Ads

Ceramah Inspiratif